
Tiga Tahun UU TPKS, Implementasi Masih Belum Optimal
Sumber Gambar: Zoom Meeting Forum Pengada Layanan
LPM Progress - Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 Pasal 1 Ayat 1, kekerasan seksual meliputi segala bentuk perbuatan yang bersifat pelecehan dan penyerangan terhadap tubuh seseorang, termasuk bagian yang berhubungan dengan fungsi reproduksi dan hasrat seksualnya. Definisi ini menjadi landasan bagi negara dalam memahami kasus kekerasan seksual serta upaya untuk melindungi warga negara dari kasus tersebut.
Namun, kasus kekerasan seksual bukan hanya persoalan hukum semata, melainkan juga masalah sosial dan psikologis yang kompleks. Margareth Robin dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) selaku penanggap dalam acara Refleksi 3 Tahun UU TPKS, menyampaikan bahwa kekerasan seksual sering dianggap sebagai penyakit masyarakat dengan dimensi psikologis yang cukup mendalam.
Ia menambahkan, banyak pelaku kekerasan seksual memiliki latar belakang traumatis karena pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya. "Ini menciptakan efek domino di masyarakat sehingga penanganannya juga tidak mudah," ujar Margareth Robin dalam penyampaiannya secara daring, (22/05).
Kekerasan seksual ini dapat terjadi di berbagai ruang, baik privat maupun publik. Anindya Restuviani, atau kerap disapa Vivi, selaku Program Director Jakarta Feminist mengungkapkan bahwa kekerasan seksual di ruang publik bahkan terjadi masif di masa pandemi, banyak ditemukan Kekerasan Berbasis Gender Elektronik (KBGE), seperti melalui e-commerce. Ironisnya, Vivi menuturkan kekerasan ini sering dinormalisasi sehingga masyarakat menganggapnya sebagai tindakan yang lumrah, padahal hal tersebut sangat berbahaya dan merugikan korban.
Selain itu, Vivi juga memaparkan keterkaitan kekerasan seksual terhadap femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang berakar dari eskalasi kekerasan seksual hingga menyebabkan perempuan kehilangan nyawa. Ia menyayangkan Aparat Penegak Hukum (APH) belum melakukan segregasi data pembunuhan berdasarkan gender, sehingga sulit melacak sebab dan akibat fenomena femisida ini secara akurat.
Meski demikian, Jakarta Feminist secara mandiri melakukan monitoring media dan mendapatkan sebaran data dari 180 kasus femisida di 38 provinsi, dengan total 187 korban perempuan dan 197 pelaku, mayoritas pelaku adalah laki-laki. Namun hingga kini, Vivi menyampaikan belum ada aturan khusus mengenai femisida dalam UU TPKS, sehingga pelaku femisida belum dijerat secara spesifik berdasarkan undang-undang tersebut, serta belum terpenuhinya hak korban dan perlindungan bagi keluarga korban.
Selain permasalahan tersebut, penggunaan UU TPKS juga masih belum berjalan secara optimal. Perempuan Mahardhika menyoroti Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023, sebagai bentuk tindak lanjut dari UU TPKS yang belum diterapkan secara maksimal di dunia kerja.
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menyampaikan bahwa keputusan menteri ini mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), hanya saja komitmen tersebut belum mendapatkan pengawalan serius dari pemerintah.
Lebih jauh, masalah intimidasi terhadap pendamping korban masih terus berlangsung pasca disahkannya UU TPKS. Salah satu contohnya adalah anggota satgas serikat buruh yang menjadi pendamping korban kekerasan seksual justru dikriminalisasi dan dituduh mencemarkan nama baik perusahaan. Dalam praktiknya, pendamping korban sering kali tidak mendapatkan pelayanan yang adil, perlindungan yang memadai, bahkan disalahkan, yang mana kondisi ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap mereka.
Menanggapi hal tersebut, Mutiara Ika Pratiwi menagih komitmen negara dalam penanganan kekerasan seksual. “Kesepakatan ini bagus untuk kita bagaimana menagih untuk meminta komitmen negara. Komitmennya sudah ada tapi melemah jadi perlu kita tagih,” ujar Ika dalam penyampaiannya di Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Jakarta Pusat, (22/05).
Sebagai wujud komitmen negara, UU TPKS sejatinya merupakan kehadiran negara dalam upaya mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan seksual. Undang-undang ini hadir untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum menjamin hak-hak korban dalam setiap langkah dan proses pemidanaan.
Dalam implementasinya, pemerintah pusat wajib melaporkan pelaksanaan UU TPKS kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) paling lambat tiga tahun sejak disahkannya pada 2022 lalu, sebagaimana diatur dalam UU TPKS Pasal 91 Ayat 2. Hingga saat ini, baru ada empat dari tujuh peraturan turunan UU TPKS yang berhasil disahkan.
Sebagai bagian dari pelaksanaan tersebut, empat peraturan turunan UU TPKS, meliputi:
1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
2. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Peraturan Pemerintah Perempuan dan Anak
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksana Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual
4. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Selain dengan pengesahan peraturan tersebut, Margareth Robin menegaskan bahwa KemenPPPA berupaya mendorong pemahaman dan implementasi UU TPKS dengan berbagai pola pendekatan. Ia juga menekankan perlunya sinergi dan koordinasi dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, mitra pembangunan, tokoh masyarakat, serta pihak terkait agar masyarakat dapat mengawal penyusunan turunan UU TPKS. Hal ini penting demi pengesahaan peraturan yang mendukung penanganan kasus kekerasan seksual secara komprehensif.
"Maka, perlu dilakukan optimalisasi implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara bersama," pungkas Margareth Robin dalam penyampaiannya secara daring, (22/05).
Penulis: Windi Hasanah
Editor: Kayla Adelyna