Gagap Kampus dalam Penanganan Kekerasan Seksual

Gagap Kampus dalam Penanganan Kekerasan Seksual

 

LPM Progress - Tulisan ini dibuat sebagai respons untuk menanggapi press release yang dipublikasikan oleh Satgas PPKS dan pihak kampus terkait dengan kasus Kekerasan Seksual (KS) yang diterbitkan pada laman lpmprogress.com, Minggu (8/12). Dalam press release tersebut tidak ada pernyataan terkait dengan Hasil Keputusan Satgas PPKS dalam penanganan kasus tersebut. Dalam hal ini kami akan memaparkan apa yang terjadi sejak publikasi artikel, penanganan pada penyintas yang salah, pertemuan dengan Rektor hingga audiensi yang hingga saat ini tidak menghasilkan apa pun.

Sejak publikasi banyak orang mempertanyakan maksud LPM Progress dalam penerbitan artikel tersebut. Sehingga banyak pihak mulai melakukan pencarian kepada penyintas (sebutan untuk korban yang mencari keadilan), padahal artikel LPM Progress dapat menjadi pintu masuk untuk mereka mendalami kasus. Pada titik ini dan hingga hari ini saat tulisan ini dipublikasikan dan dibaca, sikap LPM Progress sama, yaitu membersamai, mengawal, dan mengadvokasi penyintas melalui kerja-kerja jurnalistik kami.

Senin (9/12), menjadi awal dari kasus KS ini menjadi rumit, sebab banyak pihak yang ternyata tidak memiliki perspektif korban berusaha untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pada hari itu, penyintas dipanggil oleh Kepala Program Studi (Kaprodi) Bimbingan Konseling (BK) untuk dimintai keterangan, hadir juga Dosen Pembimbing Akademik (DPA) penyintas juga pada saat itu. Terdapat relasi kuasa dan kegagalpahaman pihak lembaga pada pemanggilan itu, pertama hal ini dilakukan ketika penyintas sedang melakukan kuliah, lalu pemanggilan itu terjadi tanpa pendamping. Arah pertemuan itu juga lebih pada penghakiman kepada penyintas, karena topik pembicaraan hanya berkutat pada penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh penyintas. Kaprodi dan DPA sama sekali tidak meng-amini perspektif korban dalam pertemuan ini. Hasil pertemuan ini, Kaprodi berbicara bahwa akan membawa masalah ini ke Satgas PPKS Unindra.

Dua hari setelahnya pada Rabu (11/12), penyintas dipanggil kembali oleh Kaprodi untuk membahas masalah ini, pemanggilan itu dilaksanakan di ruangan Unit Pelayanan Bimbingan Konseling (UPBK) Unindra. Lagi-lagi, pemanggilan ini dilakukan pada saat penyintas sedang melaksanakan perkuliahan dan tanpa pendamping. Pendamping baru tahu pemanggilan ini ketika penyintas mengabari, sesampainya di sana, rektorat berdalih jika penyintas sudah didampingi oleh Satgas PPKS. Ruangan tersebut sudah ramai oleh banyak orang, ketika ingin masuk ke ruangan, pendamping juga dihalang-halangi oleh salah dua Organisasi Mahasiswa (Ormawa) Unindra, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial (FIPPS) dan Unit Aktivitas Mahasiswa (Unitas) BK. Pendamping baru diperkenankan masuk setelah Wakil Rektor 1 hadir ke ruangan tersebut.

Terdapat banyak pihak di dalam ruangan, kurang lebih 6 orang dengan diantaranya, Kaprodi BK, Satgas PPKS, Warek 1, penyintas, dan pelaku. Mereka menyebut pertemuan ini adalah upaya penyelesaian dengan menggunakan metode konseling kelompok. Padahal, dalam penanganan kasus kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi, pihak yang berwenang dalam menangani kasus ini adalah Satgas PPKS.

Berdasar Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi pasal 29 poin b, isinya adalah keterlibatan perguruan tinggi dalam penanganan kasus kekerasan seksual hanya pada sampai proses pemanggilan penyintas, dan saksi, bukan ikut masuk dalam proses penyelesaiannya. Mempertemukan penyintas dan pelaku dalam satu ruangan yang sama adalah ide yang sangat buruk, hal ini dapat menimbulkan rasa trauma berulang terhadap penyintas dan berpotensi menjadikan korban sebagai korban kembali (revictimisasi).

Dari 2 pertemuan itu, kami menilai bahwa rektorat masih gagap dalam menangani kasus kekerasan seksual, apa-apa yang disebut sebagai penanganan hanya disandarkan pada kerja-kerja birokrat, bukan hanya karena penyintas berasal dari jurusan BK, maka itu menjadi tanggung jawab pihak-pihak yang berhubungan dengan BK. Padahal permasalahan kekerasan seksual merupakan hal yang kompleks, dan semua harus berdasar pada perspektif korban, bukan rektorat. Hal itu yang mendasari kami membuat pernyataan sikap, yang diterbitkan pada Jumat (13/12).

Pada hari yang sama, LPM Progress dipanggil oleh pihak rektorat untuk menjelaskan maksud dari pernyataan sikap yang dipublikasikan, rektorat merasa bahwa pernyataan sikap tersebut tidak berdasar dan dianggap merusak nama baik kampus. Padahal poin-poin yang dipublikasikan oleh kami konkret dan berdasar. Konklusi pertemuan itu, LPM Progress diminta untuk membuat draft yang terdiri dari:

  1. Kronologi lengkap kasus kekerasan seksual
  2. Perjalanan Satgas PPKS Unindra (Terbentuknya dan Penanganan yang dilakukan)
  3. Usulan Perbaikan Satgas PPKS Unindra

Setelah draft dibuat dan diserahkan pada Selasa (17/12) ke pihak rektorat, LPM Progress kembali diundang untuk membicarakan permasalahan kekerasan seksual pada Rabu (18/12), oleh pihak rektorat. Pertemuan itu dilakukan antara LPM Progress, Rektor, Wakil Rektor 1, Kaprodi, Satgas PPKS, dan Kemahasiswaan di gedung Sasana Krida. Pada pertemuan itu, Warek 1 menjelaskan bahwasanya Satgas PPKS sudah berjalan sesuai dengan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024.

Dalam Permendikbud Nomor 55 tahun 2024 itu sudah sangat jelas Satgas PPKS harus memiliki perspektif gender dan juga korban, tapi sayangnya sedari awal Satgas PPKS dibentuk perspektif yang dimiliki bukan lah perspektif yang seharusnya tentu hal tersebut menjadi pertanyaan besar mengapa hal tersebut terjadi.

Pada Tanggal 5 April 2023 Enny selaku Satgas PPKS mengeluarkan pernyataan bahwasanya kekerasan seksual bisa terjadi diakibatkan oleh pakaian yang di kenakan dan hal tersebut ia sampaikan juga saat diskusi yang diadakan oleh FBS, tentu pola pikir seperti ini seharusnya tidak ada dalam anggota Satgas PPKS karna apa yang dilakukan Satgas PPKS merupakan ‘victim blaming’ dengan menyalahkan korban atas pakaian yang dia kenakan. Seharusnya Satgas PPKS paham tindakan kekerasan seksual yang korban terima disebabkan oleh budaya patriarki yang berakar di tengah-tengah masyarakat.

Hal serupa kembali terjadi keluar dari mulut ketua Satgas PPKS pada hari Rabu (18/12) Enny memberikan pandangannya bahwasanya norma pakaian masih menjadi consent utamanya.

Ia berstatement “Namanya Laki-laki…”

Tentu hal tersebut lagi-lagi tak mencerminkan bahwasanya Satgas PPKS mengerti apa itu kekerasan seksual. Pasalnya, statement yang ia keluarkan merupakan pelanggengan kekerasan seksual yang mana pelakunya didominasi oleh laki-laki. Sehingga, membuat korban akan terus menerus menjadi korban dan tidak dapat meraih keadilan yang seharusnya didapatkan.

Pertemuan di hari Rabu tersebut, pihak Rektorat mengakui apa yang dilakukan oleh Kaprodi BK menyalahi prosedur yang ada. Rektor meminta Satgas PPKS untuk menyelesaikannya pada hari Jumat (20/12) secara transparan dan meminta Satgas PPKS menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur yang ada.

Sayangnya, Satgas PPKS tidak melakukannya. Hari Jumat LPM Progress menghubungi Satgas PPKS melalui ketuanya untuk diminta keterangan dan transparansi mengenai penanganan kasus Kekerasan Seksual yang dilakukan tapi Enny mengatakan tidak bisa dihari itu dan sampai saat ini Satgas PPKS tidak memberikan kabar kelanjutan dari penanganan kasus tersebut.

Masalahnya dalam press release yang dikeluarkan Satgas PPKS tidak menjelaskan hasil dari penanganan kasus kekerasan, satgas PPKS justru malah fokus terhadap ucapan terima kasih kepada orang-orang yang mengamini kecacatan prosedur yang dilakukan oleh Rektorat. Tentu hal tersebut tidak mencerminkan bahwasanya Satgas PPKS adalah lembaga yang Independen.

Satgas PPKS menyebutkan “Jangan Bicara pada Sembarangan Orang atau Organisasi” tentu kita harus paham di dalam kasus kekerasan seksual, sulit bagi penyintas untuk bercerita tentang apa yang sudah ia alami. Ketika ada penyintas yang berani berbicara, seharusnya Rektorat atau warga kampus ikut mendukung dan menguatkan penyintas, bukan malah membatasi penyintas untuk bercerita.

Kebobolan yang dialami pada penanganan kasus kekerasan seksual di Unindra saat ini tentu dengan keterlibatan organisasi-organisasi mahasiswa yang tidak paham prosedur dalam penanganan kasus kekerasan seksual, tetapi karena dilatarbelakangi oleh program studi BK, kasus ini ingin cepat terselesaikan oleh BEM FIPPS dan Unitas BK, sedangkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual, selain Satgas PPKS maka pihak lain tidak diperkenankan untuk menanganinya, karena hal itu sudah menjadi wewenang Satgas PPKS. Sayangnya, Kaprodi BK mengamini tabayun tersebut atas permintaan dari Unitas BK dan BEM FIPPS sehingga penyintas dan pelaku dipertemukan.

Seharusnya organisasi mahasiswa dalam kasus ini fokus dalam pengawasan seorang ‘pelaku’ kekerasan seksual, bukan malah mencari informasi korban. Karena mencari tahu informasi korban melalui pelaku supaya korban mau bercerita dan ditangani, seperti yang dilakukan oleh BEM FIPPS dan Unitas BK sama saja membuat korban kekerasan seksual menjadi korban kembali. Jika korban terus-menerus dibiarkan bercerita hanya akan membuka luka dan trauma.

Pada postingan terakhir di dalam Press release yang dibuat Satgas PPKS bertuliskan “Jauhi Seks Bebas dimanapun dan kapanpun” istilah seks bebas adalah istilah lama yang seharusnya sudah tidak lagi digunakan karena seks bukanlah sesuatu yang diatur oleh negara. Istilah seks bebas ini akan menggiring bahwasanya antara pelaku dan korban merujuk pada seks bebas. Dalam kasus kekerasan seksual itu murni kesalahan pelaku yang tidak memiliki persetujuan korban.

Laporan kuartal 2 (Q2) dan kuartal 3 (Q3) Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENet), Ada 982 Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dari laporan Q2 dan Q3 itu 51% korbannya berjenis kelamin perempuan yang didominasi usia 15-34 tahun. KBGO menjadi salah satu kasus yang marak terjadi di dunia digital.

Data tersebut sekaligus menjadi catatan khusus untuk Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) yang hingga saat ini, masih saja belum bisa memberikan kepastian atas keputusan tegasnya dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
 

 


Penulis : Redaksi LPM Progress