Resensi Buku Hotel Royal Costanza, Ketika Jurnalis di Ambang Kematian

Resensi Buku Hotel Royal Costanza, Ketika Jurnalis di Ambang Kematian

Sumber gambar: akubaca.com

 

Judul                : Hotel Royal Costanza

Penulis             : Kharizma Ahmada

Penerbit           : Mojok

Cetakan            : Pertama, September 2018

Jumlah halaman : 270 Halaman

ISBN                :  978-602-1318-53-9

 

Buku hasil pemikiran Kharizma Ahmada ini merupakan sebuah novel yang bergenre kriminalitas jurnalistik. Novel ini menceritakan terbunuhnya seorang jurnalis asal Indonesia bernama Sugeng yang pada saat itu bekerja di Radio Nieuws Netwerk (RNN), Belanda. Radio tersebut diketahui merupakan salah satu media massa terbaik yang ada di Eropa pada masanya.

Sebelum tragedi pembunuhan tersebut menimpanya, Sugeng telah diingatkan oleh sosok misterius yang ditemuinya sesaat setelah ia tiba di San Matteo, Ibukota Costanza. Sosok misterius tersebut memberikannya sebuah flashdisk dan berpesan agar ia menjauhi Hotel Royal Costanza.

Namun, bagi Sugeng larangan tersebut adalah sinyal panggilan bagi dirinya, karena merasa ada sesuatu hal ganjil yang akan terjadi. Ia kemudian memutuskan untuk mendatangi hotel tersebut. Naas, ia datang di waktu yang tidak tepat. Ia datang bersamaan dengan adanya aksi penyanderaan hotel oleh sekelompok pemberontak yang menamakan diri mereka Costanza Unionist Movement (CUM). Ia menjadi salah satu korban penyanderaan dalam aksi tersebut.

Sugeng ditempatkan pada sebuah kamar yang di dalamnya terdapat seorang lelaki dan juga perempuan yang merupakan korban penyanderaan. Kedua orang tersebut ialah dua penyanyi terkenal yang rencananya akan mengisi acara Final Nasional Eurovision Song Contest (ESC) Costanza. Di dalam rasa takut dan cemas, mereka bertiga terlibat sebuah pembicaraan yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka sendiri. Ketiga orang ini berbincang mengenai peristiwa apa yang sedang dihadapi dan apa motif dari pemberontakan yang terjadi. Sugeng yang merupakan seorang jurnalis dan sudah beberapa kali mondar-mandir di Costanza tentunya memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai negeri antah berantah tersebut dibandingkan dua kawan yang baru ia kenal ini.

Sugeng kemudian menceritakan kemungkinan besar peristiwa ini disebabkan oleh kondisi perpolitikan oleh para elit. Sugeng juga menceritakan bahwa sebenarnya ia tidak dapat lagi masuk ke Costanza karena ia sudah di blacklist dari negara ini. Pasalnya, dulu ia sempat melakukan laporan investigasi mengenai tewasnya seorang jurnalis lokal Costanza yang bernama Medunjanin setelah melakukan peliputan mengenai investigasi pajak di negara itu.

Untuk mengatasi pemberontakan ini, pemerintah Costanza menurunkan tim Costanza Special Forces (CSF), yakni tim militer dari negeri Costanza. Dalam proses pembebasan aksi penyanderaan tersebut, Sugeng tertembak oleh pemimpin CSF yang bernama Gorran. Gorran melakukan itu karena rekam jejak Sugeng yang merupakan salah satu jurnalis yang tidak disukai oleh para pemimpin elit di Costanza sehingga dengan begitu tentunya ia akan mendapatkan simpati dan akan dengan mudah mendapatkan kenaikan pangkat.

Kematian Sugeng membuat benang merah peristiwa pemberontakan ini hampir terungkap. Sebelum tewas tertembak, Sugeng sempat menitipkan flashdisk yang ia dapatkan ketika baru sampai di bandara beberapa waktu lalu kepada Luce, penyanyi perempuan yang ditemuinya di kamar saat mereka di sandera. Sugeng berpesan agar flashdisk itu diberikan kepada Hanum, teman jurnalisnya di RNN. Flashdisk tersebut ternyata berisi rekaman percakapan mengenai perencanaan pemberontakan yang terjadi dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya, kemudian Hanum melanjutkan investigasi untuk mengetahui siapa dalang dari semua peristiwa ini layaknya Sugeng di masa hidupnya yang terus melakukan investigasi walaupun selalu dibayangi kematian dan juga sebagai bentuk penghormatan kepada Sugeng yang telah tewas ditembak.

Kelebihan dari buku ini ialah pembaca dapat mengetahui betapa berat dan pentingnya peran jurnalis dalam mengungkap sebuah fakta. Tentunya dengan membaca novel ini dapat semakin memperluas sudut pandang pembaca terhadap dunia jurnalistik. Buku ini sangat cocok dibaca oleh orang yang menyukai cerita konspirasi dan politik, karena cerita dalam buku ini ditulis dengan masalah-masalah global yang membuat pembaca merasa dekat dengan ceritanya.

Kekurangan dari buku ini adalah penggambaran mengenai bagaimana peran jurnalis investigasi dalam mengungkapkan sebuah konflik yang terjadi. Kurangnya penyampaian penulis dalam menceritakan, membuat pembaca kurang mendapatkan pengetahuan mengenai jurnalisme investigasi. Penggunaan istilah asing serta banyaknya nama pemeran dalam buku ini juga menjadi salah satu kekurangan, karena pembaca harus selalu mengingat tokoh yang ada apakah tokoh antagonis atau protagonis.

 

Kontributor : Haviv Isya Maulana

Editor : Irnawati