Pers Mahasiswa Bukan Humas Kampus

Pers Mahasiswa Bukan Humas Kampus

 

 

LPM Progress - Jumat(13/12), LPM Progress menerbitkan siaran pers atas kasus kekerasan seksual yang terjadi di Unindra, pada siaran pers itu kami menyoroti upaya rektorat yang keliru dalam penanganannya. Sehari setelah terbitnya siaran pers, pihak rektorat memanggil LPM Progress untuk dimintai keterangan lebih lanjut terkait terbitnya postingan tersebut.

 

Pada pertemuan itu, pihak rektorat menyalahkan LPM Progress atas terbitnya siaran pers, mereka merasa apa yang dilakukan oleh Progress merupakan perbuatan merusak nama baik kampus. Diawal pertemuan, rektorat sempat meminta untuk men-takedown siaran pers tersebut, rektorat beralasan bahwa terbitnya siaran pers yang dibuat oleh Progress akan memengaruhi Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) yang akan dilaksanakan oleh kampus. Namun dalam pertemuannya, Progress menjelaskan bahwa siaran pers tersebut merupakan pernyataan sikap, buntut dari buruknya penanganan kasus kekerasan seksual di Unindra oleh pihak rektorat dan satgas PPKS. Rektorat juga merasa bahwa LPM Progress masih masuk ke dalam elemen mahasiswa, bukan wartawan, yang kerja-kerjanya harus selalu berada pada pengawasan kampus. 

 

Tidak berhenti disitu, pada hari Selasa(17/12), LPM Progress Kembali dipanggil oleh rektorat untuk membedah permasalahan kekerasan seksual di Unindra, pada pertemuan hari itu, terdapat Rektor, Wakil Rektor 1, Ketua Satgas PPKS, Kepala Program Studi (Kaprodi) Bimbingan Konseling (BK) dan Kemahasiswaan. Alih-alih fokus pada bahasan kinerja Satgas PPKS Unindra, rektorat kembali mempermasalahkan kerja jurnalistik LPM Progress, pihak rektorat masih bersikukuh dengan anggapan bahwa apa yang diterbitkan oleh Progress dapat merusak nama baik kampus. 

 

Rektorat juga merasa jika LPM Progress tidak mau ‘dibina’ oleh kampus, silahkan keluar dari UKM dan berdiri secara mandiri tanpa dinaungi kampus. Seakan-akan, tidak ada yang boleh berseberangan dengan tindakan rektorat dan pandangan rektorat menilai sesuatu. Jika binaan hanya sekedar membersamai pandangan yang salah, agaknya tidak ada kebebasan akademik di Unindra. Hal tersebut tercermin dari kalimat sama yang diulangi pada dua pertemuan itu, yakni ‘nama baik kampus dan almamater’.

 

Cukup jengah sebetulnya, seperti melawan pemikiran yang sama, pada waktu yang berbeda. Hal seperti ini pernah kami rasakan pada tahun 2020, ketika kami ingin melakukan wawancara eksklusif bersama Rektor terkait transparansi kampus pada saat pandemi covid-19, yang saat itu rencananya wawancara tersebut akan kami tayangkan secara streaming YouTube. Saat itu rencana wawancara eksklusif kandas karena dibenturkan oleh administrasi UKM yang mengharuskan semua bentuk kegiatan Organisasi Mahasiswa harus lewat perizinan administrasi UKM, padahal dalam kerja-kerja Progress, tidak ada Keputusan yang memengaruhi kerja jurnalistik, selain Keputusan ruang redaksi kami sendiri. 

 

Perlu diketahui, bahwa saat ini kerja-kerja jurnalistik di lingkungan perguruan tinggi sudah memiliki landasan, hal ini tertuang pada Memorandum of Understanding (Mou) antara Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan Tinggi, dan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) mengenai Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi. Perjanjian Kerjasama ini sudah diteken oleh kedua pihak pada 18 Maret 2024. Isi dari perjanjian Kerjasama ini salah satunya adalah peningkatan kompetensi mahasiswa dalam aktivitas jurnalistik di lingkungan perguruan tinggi dan penyelesaian sengketa yang timbul dari aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. 

 

Landasan ini memang tidak dalam bentuk peraturan undang-undang, melainkan perjanjian Kerjasama, namun hadirnya perjanjian Kerjasama yang melibatkan Kemendikbudristek, seharusnya pandangan mengenai jurnalistik pada Tingkat perguruan tinggi sudah seragam dalam melihat kebebasan pers. Perlu dicatat, pers mahasiswa memiliki kontribusi bagi perjalanan negara Indonesia, baik pra-kemerdekaan, Orde Baru, hingga Reformasi. Pers mahasiswa hadir sebagai media alternatif, disaat media massa kebanyakan ditunggangi oleh kepentingan politik demi meraup keuntungan. Maka dari itu kebebasan pers haruslah dimaknai sebagai proses check and balance antara pembuat kebijakan dan pihak yang merasakan kebijakan. Jika kebebasan pers masih dimaknai antara mahasiswa dan profesional, jangan harap lingkungan akademik dapat membentuk manusia-manusia dengan intelektualitas yang mumpuni. 

 

Menutup tulisan ini dengan pandangan Albert Camus, 

“Media yang bebas, tentu saja, bisa baik dan bisa buruk. Namun tanpa kebebasan pers, media akan selalu buruk.”

 

 

 

Penulis : Redaksi LPM Progress