Baliho Kampanye : Sampah Visual yang sudah ketinggalan jaman
Sumber gambar: Markominfo LPM Progress
LPM Progress - Kampanye merupakan suatu kegiatan yang lumrah dilakukan pada masa-masa menjelang Pemilihan umum (Pemilu). Dalam rangka meyakinkan para pemilih mengenani visi dan misi mereka, para kandidat Pemilihan Umum (Pemilu) turut memanfaatkan beragam alat peraga kampanye (APK) yang di antaranya adalah baliho, sebagai media utama untuk menyampaikan pesan-pesan kampanye mereka. Namun, masalah yang sering muncul terkait dengan baliho adalah penempatannya yang sering kali melanggar aturan dan mengganggu estetika lingkungan.
Baliho merupakan salah satu alat peraga kampanye (APK) yang digunakan saat pesta demokrasi diselenggarakan. Baliho berfungsi sebagai media penyampaian tentang suatu identitas kandidat Pemilu, baik itu berisi visi, misi, maupun program yang ditawarkan. Hal tersebut ditujukan untuk mendapatkan hak suara rakyat. Didukung juga oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 23 Tahun 2018 Pasal 30 Ayat 4 yang mengatur penyebaran materi kampanye. Disebutkan bahwa desain dan materi kampanye setidaknya harus mencantumkan visi, misi, dan program kerja dari kandidat Pemilu, sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Meskipun pemasangan baliho di berbagai tempat umum telah menjadi hal yang lazim namun, kegiatan ini seringkali mengakibatkan dampak negatif terhadap estetika lingkungan dan bisa juga menyebabkan pencemaran lingkungan. Baliho yang semestinya menjadi alat penunjang kampanye kini dinilai tidak lagi efektif karena beberapa individu mengabaikan kebijakan terkait penempatan media kampanye, bahkan menimbulkan potensi bahaya bagi pejalan kaki dan pengendara. Tak jarang baliho-baliho berukuran besar tersebar di berbagai lokasi yang seharusnya tidak diizinkan.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 71 Undang-Undang (UU) 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan bahwa tempat umum yang dilarang ditempelkan bahan kampanye yakni tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, termasuk taman dan pepohonan.
Selain menjadi sebuah masalah pencemaran di lingkungan, pada saat ini terjadi kasus-kasus kecelakaan yang merugikan para pengendara motor dan pejalan kaki akibat dari pemasangan baliho yang tidak sesuai tempat, seperti di sepanjang jalan protokol. Kecelakaan tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan dan himbauan dari lembaga penanggung jawab terkait, yaitu Panitia Pengawas Kecamatan dan Pemerintah Daerah setempat.
Para kandidat pemilu seharusnya memiliki kesadaran terhadap aturan-aturan yang berlaku dan diatur dalam UUD 1945 sebagai landasan dasar hukum dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang jalannya Pemilihan Umum. Penggunaan APK sudah seharusnya tidak melanggar kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan. Berbagai jenis pelanggaran terhadap media kampanye ini sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga terkait, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta dijadikan evaluasi untuk kegiatan pemilu kedepannya.
Mari kita lihat metode kampanye di Negara Jepang. Penggunaan APK di sana hanya boleh dipasang di papan yang telah disediakan oleh pemerintah dan ukuran berbagai poster kandidat pemilu memiliki ketentuan yang sama, yakni 40x40 cm dan berisikan informasi tentang nama calon, visi, misi, dan program yang akan dijalankan. Berbagai atribut kampanye tersebut juga hanya bisa ditemukan di tempat umum dan tempat keramaian tertentu.
Hal tersebut bertujuan untuk menghindari angka korupsi dari penggunaan APK dan tentunya untuk tetap mengedepankan kelestarian lingkungan di sana. Selain bisa mengikuti metode kampanye di Jepang, seharusnya di era perkembangan digital zaman sekarang para kandidat pemilu mampu memiliki variasi baru terhadap penggunaan media sosial untuk mendapatkan suara dan hati masyarakat.
Penulis: Egi Diva Putra
Editor: Anisa Adiyanti