
Kulon Progo, Perlawanan dan Sebuah Kehilangan
Sumber gambar : @marwan_nka
Bus yang siap melaju ke Kulon Progo masih menggeram menunggu muatan, aku memeriksa kembali buku catatan cokelat yang berisi rencana-rencanaku selama dua minggu ke depan. Ini pertama kalinya aku pergi sendirian ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi; Kulon Progo.
Kepergianku ini karena kemarahanku atas berita yang aku terima dari salah satu media massa, yang mewartakan mengenai konflik agraria di salah satu daerah Yogyakarta. Kata-kata Sultan di Kulon Progo sangat menyakitkan, mungkin lebih menyakitkan lagi bagi warga Kulon Progo yang memuliakannya dan keluarga kerajaan sedari beberapa abad lalu.
Sultan menanggapi pengusiran warga dari tanah kelahirannya dengan berkata, "Daripada dipaksa lebih baik kesadaran sendiri. Kesadaran sendiri lebih baik, masa apa-apa harus dipaksa?"
Bisa aku bayangkan gambaran kekecewaan warga Kulon Progo kepada Sultannya sendiri. Sultan yang selama ini dimuliakan dan diagungkan.
Bus melaju perlahan, bersamaan dengan kursi di sampingku yang diisi oleh seseorang, aku kenakan headset dan mulai mendengarkan beberapa lagu yang menghantarkan perasaan kepada kesenduan. Dari balik kaca tersaji pemandangan jalan yang cepat berganti-ganti, hanya pikiranku saja yang masih tetap pada tempatnya. Terbayang olehku kekecewaan buyut warga Kulon Progo menyaksikan anak cucunya terusir dari tanah yang sudah menjadi sumber penghidupan sejak berabad-abad lalu. Apakah mungkin priyayi atau buyut kerajaan kecewa juga? Aku rasa tidak.
Sudah sejak dulu, raja-raja hanya memikirkan rasa hormat, kekayaan, kemuliaan dan harta, tidak pernah ada raja yang memikirkan rakyatnya. Jika ada, tidak mungkin ada rakyat jelata dalam wilayah kerajaannya. Lagi pula, katanya manusia itu sama saja. Ini berarti, sikap Sultan Kulon Progo saat mengatakan kalimat yang menyakitkan itu tidak akan jauh berbeda dengan buyut-buyutnya dari abad-abad silam.
Buku Sepotong Senja untuk Pacarku tersodor di depan wajahku, aku menengok mencari tangan yang dengan lancang menyentuh barang-barangku. Buku ini sengaja aku bawa untuk menemani perjalananku yang kurasa akan sangat membosankan. Senja dari Seno selalu dapat membawaku pada perasaan sendu yang hanya bisa ditemui saat senja, dari gerakan bibirnya dapat aku ketahui apa yang berusaha ia sampaikan—bukuku terjatuh.
Ia masih mengatakan sesuatu lagi, namun sama sekali aku tidak mendengarnya. Aku lepas headset yang sedari tadi aku kenakan dan mencoba untuk mengacarai pertemuan yang tidak terbayang ini. Aku mengenalnya dengan jelas meski sudah dua tahun tidak bertemu. Bagaimana pun, aku tidak akan lupa mengenainya. Dia yang membawaku pada dunia yang sama sekali tidak ingin aku jejaki, namun aku jejaki juga hingga kini meski aku sudah tak bersamanya lagi. Dunia perlawanan, melawan segala tindakan manusia yang membuat manusia lainnya menderita.
Aku lepas kain penutup yang sedari tadi menutupi setengah wajahku. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak kalah hebat dengan keterkejutanku beberapa menit lalu, ia masih mengingatku. Tapi mungkin tidak sama dengan ingatanku mengenainya.
“Dira!” Suaranya ragu tanpa kemantapan bicara dan yang bisa aku lakukan hanya membalasnya dengan senyum yang tak kalah ragu.
“Kamu mau kemana?” Tanyanya dengan suara yang aku tidak mengerti mengartikan apa.
“Sendiri?” Tambahnya dengan nada kekhawatiran yang langsung membuat hatiku merasa rindu.
“Aku mau ke Kulon Progo. Iya, aku sendiri.”
“Dua tahun tidak bersua, banyak sekali ya yang berubah?”
“Ini pertama kalinya, Lana.”
Mendengar keteranganku akan pertama kalinya aku berpergian sendiri, matanya seperti mencari sesuatu yang aku tidak tahu apa.
“Tapi kamu,”
“Ya sebelum aku pergi, aku mengabari salah satu temanku yang di Jakarta. Barang kali ia memiliki kawan di Kulon Progo yang dapat menemaniku selama dua minggu di sana.” Lana diam dengan raut wajah yang masih tidak aku mengerti. “Harus ada yang berubah.”
Ia tersenyum manis mendengar kalimat terakhirku. Seperti mengaminkan setiap perubahan yang aku usahakan pada diriku. Senyumannya membawaku pada hari di mana ia memutuskan untuk kami masing-masing, hari terberat bagiku yang sudah sangat mencintainya. Ia meninggalkanku karena tahun-tahun itu adalah tahun di mana hari-harinya kian berat, ia tidak ingin menyeretku lebih dalam ke dunianya yang baru sedikit aku kenal.
Langit yang terang lamat-lamat menjadi kelabu, titik hujan mulai mengetuk kaca jendela bus yang berada di sebelah kananku. Kini bukan hanya pemandangan di luar kaca jendela saja yang berubah-ubah, pikiranku pun tidak lagi menetap pada satu soal. Kulon Progo dan kisah masa lalu bergantian menempati kepala.
Kembali kubaca catatan pada buku cokelat; catatan kecil mengenai berita Kulon Progo. Penetapan Kulon Progo sebagai lokasi proyek pembangunan Bandara telah diputuskan oleh Sultan pada 31 Maret lima tahun yang lalu melalui SK. Namun SK ini dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta di tanggal 23 Juni pada tahun yang sama setelah digugat oleh Paguyuban Wahana Tri Tunggal. Tetapi, sepertinya kuasa di atas kekuasaan menghendaki tetap harus adanya bandara ini dan Sultan yang menjadi alat dari kuasa yang tidak pernah tahu siapa, harus memuluskan keinginan kuasa ini.
Dengan kekuatan kuasa yang entah siapa saja di dalamnya, Sultan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan tentu hasilnya dapat ditebak, per 23 September pada tahun yang sama yakni tahun 2015, MA membatalkan putusan PTUN. Pembangunan ini pun dipermulus oleh Presiden Joko Widodo, presiden yang saat kampanyenya mengenakan pakaian sederhana, menyusuri jalan menemui rakyat yang menjadi sumber suara, yang pula mengaku wong cilik. Presiden yang katanya merakyat ini menunjukkan dirinya yang asli lewat Perpres 98/2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Udara Baru di Kabupaten Kulon Progo.
“Mau apa kamu ke Kulon Progo?” Tanyanya tiba-tiba, aku merasakan sedari tadi ia pun memperhatikan catatanku.
“Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar warga Kulon Progo yang terusir.”
“Setelah itu?”
“Akan aku tulis.”
“Kamu…”
“Aku jadi wartawan sekarang, Na.” Matanya melebar seketika kemudian melempar pandangnya pada kaca jendela.
“Awalnya aku bekerja di salah satu bank swasta, tapi ada yang lain.” Aku berhenti, pandangnya kini dilimpahkan seluruhnya padaku.
“Aku memutuskan untuk ikut melawan. Seperti yang kau ajarkan padaku saat kita masih bersama. Tapi aku memilih jalan yang lain, aku tidak ingin meninggalkan seseorang suatu waktu hanya karena risiko yang mengancam dan berbahaya atau karena kehidupan yang tak jelas di masa tuanya.” Dapat kurasakan suaraku berat dengan emosi yang mendorongku untuk membuka luka lama yang masih juga menganga.
Wajahnya yang lebih hitam dari terakhir kali kami bertemu itu ditundukan. Ia terlihat lebih kurus dari terakhir kami bertemu, mungkin semakin hari semakin ia jarang makan dan memang tidak memperdulikan pola makannya. Lelaki ini; lelaki bodoh, yang sama sekali tidak memikirkan dirinya, hanya melawan dan melawan tanpa mau berbahagia sebagai individu, membuat aku sulit melupakannya. Tidakkah ia tahu bahwa aku ingin selalu membersamainya? Dalam segala bahagia dan bahaya. Air mata jatuh melewati pipi, melewati perasaan yang tidak akan pernah menemukan kata yang tepat untuk mengutarakannya.
“Maaf, Dira.” Suaranya bergetar seperti menahan sesuatu dan sesuatu itu juga yang menahan kepalanya agar tetap tertunduk.
“Semua sudah berlalu.”
“Dan kau masih membawanya pada kehidupanmu.” Jawabnya mendapatkan mataku.
“Entah akan sampai kapan.” Pipinya basah. Air mataku menderas.
“Kau sendiri, mau ke mana?” Tanyaku untuk meninggalkan perbincangan yang terasa menyakitkan. Untukku dan kini aku tahu, untuknya.
“Kulon Progo, bergabung untuk melawan.”
“Sepertinya bukan aku saja yang masih membawa perasaanku.”
“Ya, Dira. Aku juga masih membawanya.”
“Dan kita tidak bisa bersama.” Sautku pelan kehilangan sesuatu yang entah apa.
“Ya, Dira.”
Lampu-lampu jalan menunjukkan sinarnya. Langit telah gelap sepenuhnya ditinggalkan matahari dan hujan yang sempat mengguyur badan bus, serta bus meninggalkan hujan yang mengguyur badannya.
Penulis : Astin Kho
Editor : Winda