Transpuan Tangerang Tanpa Pesta Lebaran
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Valensiya
Stigma terhadap transpuan Tangerang melanggengkan praktik diskriminasi di dunia kerja. Peraturan daerah anti-Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender menyingkirkan transpuan.
LPM Progress - Azan salat ashar berkumandang. Nuke, seorang transpuan mematikan kotak musik yang dia gunakan untuk mengamen. Menunggu seruan ibadah itu selesai, dia beristirahat sejenak di warung penjual minuman sembari menata riasan wajah yang mulai luntur.
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Valensiya
Di tengah terik matahari yang menyengat, transpuan berusia 50 tahun itu bergegas menuju perkampungan di bantaran Kali Cisadane, Tangerang, Banten. Dia berjalan sepanjang tujuh kilometer melewati rumah-rumah penduduk, gang, dan ruko. Nuke dengan bibir tersenyum menyalakan kotak musik sembari berjoget di halaman rumah warga.
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Valensiya
Hari itu adalah Lebaran Idul Fitri hari kedua. Orang-orang berkumpul dan berpesta bersama keluarga dan kerabat. Tak seperti orang kebanyakan, Nuke menghabiskan waktunya untuk bekerja.
Seperti hari-hari biasanya, Nuke berjalan puluhan kilometer, menelusuri permukiman warga. Ia kerap lelah, tetapi itu tak menyurutkan semangatnya untuk mengumpulkan uang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Saat bekerja, ia kerap mendapatkan olokan misalnya bencong dari bocah hingga orang dewasa yang melintas di depannya. Tapi, Nuke memilih mengabaikannya. “Kadang ngeluh dengan diri sendiri. Ya Allah kaki gue capek banget. Abis kalo nggak gini nggak bisa makan, nggak bisa bayar kosan,” kata Nuke ditemui di perkampungan Kali Cisadane, 11 April 2024.
Saya mengikuti perjalanan Nuke hampir seharian. Stasiun Duri tampak ramai oleh hilir mudik orang-orang yang akan berkunjung ke rumah sanak saudara untuk bersilaturahmi siang itu. Peron rel kereta api arah Tangerang ini lebih padat dibanding hari biasanya. Suara dari pusat pemberitahuan itu beradu dengan suara penumpang yang sedang bercengkrama satu sama lain dan memberikan kesan hangat. Menenteng kotak musik yang dia sewa, transpuan asal Bogor itu berdesakan di kereta yang hendak menuju Tangerang.
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Valensiya
Dia memilih Tangerang sebagai lokasi mengamen karena paling dekat dengan kos yang dia huni. Nuke hanya perlu naik kereta satu kali dan berjalan sejauh tujuh kilometer menuju pinggir Kali Cisadane. Selain Tangerang, dia juga kerap mengamen di Serpong, Depok, dan Pondok Ranji yang butuh waktu tempuh lebih lama karena harus naik angkot.
Nuke tak pernah libur. Uang hasil ngamen ia habiskan untuk makan, bayar kos, menyewa kotak musik, membeli alat rias, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Pendapatan yang tak menentu bergantung pada kondisi cuaca. Jika hari itu turun hujan, maka menghambatnya mencari penghasilan.
“Kalo nggak dapat duit harus ngirit. Kalau cuma dapat 50 ribu harus pintar nyimpan duit, Rp 10-20 ribu untuk membayar kos,” kata dia.
Jika hari itu ia tidak mendapatkan uang, maka ia hanya bisa mengakali dengan membeli mie instan sebanyak dua bungkus yang dimakan pada pagi dan sore hari. Nuke juga sering hutang ke warung milik keponakan temannya. Ia membayar selepas mendapatkan uang dari hasil mengamen.
Nuke tak pernah memperhatikan kondisi kesehatan tubuhnya di tengah kerja keras itu. Darah tinggi, kolesterol, dan Vertigo menyerang Nuke. Bila sedang sakit, maka dia hanya bisa menangis di kos. Suatu hari, vertigo menyerang kepala Nuke saat ia sedang mengamen. Dia berkeringat dingin, muntah dan pusing.
Saat penyakitnya kambuh ia hanya bisa duduk, mengikat alat musik ke tubuh, dan mengamankan barang berharga lainnya. Ia tiduran di mana saja supaya tubuhnya menjadi lebih baik.
“Aku selalu berdoa kepada Allah supaya penyakit ini tak kambuhan karena hidupku di jalan,” ujarnya.
Selain penyakit yang sering kambuh, dia juga menghadapi berbagai ancaman penjambretan dan pengguna jalan yang ugal-ugalan. Nuke juga pernah dirazia petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Petugas Satpol PP seringkali menangkap transpuan secara serampangan.
Suatu hari, Nuke bersiap pulang selepas mengamen. Petugas Satpol PP mengangkutnya dengan alasan pendataan Kartu Tanda Penduduk. Petugas itu membawa dan menurunkannya di Tol Pademangan Cirebon. Petugas itu hanya memberikan duit Rp 10 ribu dan berpesan agar Nuke menggunakan uang itu untuk kembali ke Jakarta.
“Saat itu aku hanya bisa nangis,” kata dia.
Nuke trauma sehingga kini memilih mengamen di perkampungan ketimbang pinggir jalan perkotaan. Selama 22 tahun mengamen, dia hafal daerah mana saja yang bisa menerimanya. Di lokasi-lokasi tertentu, Nuke hanya mengamen satu hingga dua kali untuk menghindari orang bosan menontonnya.
Nuke sebenaranya berharap punya pekerjaan yang layak. Masalahnya, ia tak punya ijazah untuk melamar pekerjaan. Ia hanya lulus dari kelas 2 sekolah dasar. Keterbatasan ekonomi membuat dia dan 13 saudaranya tak lulus SD.
Sejak putus sekolah, Nuke membantu keluarga mencari uang dengan cara berjualan kue talam, donat, dan es mambo. Sebagian keuntungan hasil berjualan ia berikan kepada ibundanya untuk membantu kebutuhan keluarga.
Nuke menjadi transpuan sejak bocah. Sejak umur 9 tahun ia nyaman menjadi perempuan. Ia suka bermain karet, bekel, dan memasak bersama teman sebayanya. Tindakannya itu mendapat penolakan kakak laki-lakinya. Suatu hari, Nuke mengikuti perayaan 17 Agustus di kampungnya. Ia ikut pawai. Nuke juga ikut berdendang di panggung ketika lagu penyanyi Itje Trisnawati berjudul Lenggang Kangkung diputar. Tiba-tiba kakak Nuke naik panggung sembari membawa sapu dan menyuruh Nuke turun.
Ketika Nuke turun, kakaknya melayangkan sapu tersebut ke badan Nuke hingga tubuhnya berdarah. Nuke lari menuju rumah kakak perempuannya. Sejak saat itu, Nuke trauma dan membuatnya kabur dari rumah. Nuke tak ingin membohongi jati dirinya dan ingin bebas mengekspresikan diri.
Lambat laun keluarganya membiarkan Nuke. “Lama kelamaan udah gede gini, kakak malu kali ya untuk gebukin aku. Akhirnya yaudah dibiarin aja. Cuman aku nggak boleh dioperasi, hanya boleh panjangin rambut,” kata Nuke.
Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan diskriminasi ketenagakerjaan dalam bentuk apapun itu dilarang. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Mamik Supratmi menjelaskan rendahnya akses pekerjaan yang layak bagi transpuan karena faktor struktural. Prasangka dan stigma terhadap transpuan melahirkan tindakan diskriminatif bukan hanya dari negara, melainkan juga komunitas, lembaga dan individu-individu dalam keluarga.
Sumber: Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Menurut dia, sesuai aturan tidak ada klausul yang mendiskreditkan transpuan, tetapi stigma dan prasangka melahirkan diskriminasi. Stigma dan prasangka eksis dalam masyarakat, perusahaan, lembaga negara maupun lembaga-lembaga pemberi kerja.
Hukum maupun regulasi yang tidak mendiskriminasi itu tidak cukup selama cara pandang, cara berfikir masyarakat, keluarga, korporasi, lembaga negara maupun lembaga-lembaga tempat kerja tidak memberikan afirmasi, perlakuan khusus, dan perlindungan khusus. Transpuan akan tetap kesulitan akses bila tidak memperoleh pelatihan keterampilan dan pendidikan yang layak.
Mamik menyarankan perlu klausul dalam aturan yang menyatakan praktek diskriminasi terhadap kelompok minoritas itu dilarang dan perlu diatur melalui afirmasi terhadap kelompok minoritas, bukan hanya transpuan, melainkan rgam identitas gender lainnya, difabel, dan minoritas lainnya.
“Harus adanya afirmasi kepada kelompok-kelompok minoritas,” ujar Mamik melalui pesan WhatsApp.
Mamik menyebutkan dampak dari adanya prasangka dan stigma terhadap transpuan bermula dari diskriminasi untuk mengakses pendidikan, pelatihan, dan pembekalan. Selain itu, pekerjaan informal yang mereka jalani tidak dihargai oleh masyarakat dan melekat pada identitas gendernya.
“Seharusnya tidak demikian karena setiap orang berhak atas kehidupan yang layak, layanan kesehatan yang layak dan pekerjaan yang layak,” kata dia.
Mamik mencontohkan situasi transpuan dari keluarga dengan ekonomi yang buruk semakin sulit. Transpuan yang datang dari keluarga kaya, masih bisa mengakses pekerjaan dan menciptakan pekerjaan. Tapi, transpuan dari keluarga miskin semakin menjerit. Mereka menghadapi stigma, prasangka, dan diskriminasi dari lingkungan sekitar, masyarakat maupun institusi negara.
Kementerian sosial sering menggelar pelatihan kerja untuk transpuan supaya mereka berhenti menjadi pekerja seks. Namun, pelatihan yang mereka berikan selalu berhubungan dengan menjahit ataupun merias. Echa menilai dalam program-program yang disediakan pemerintah kental dengan bias-bias dan merendahkan. Padahal, tidak semua transpuan dan tidak semua perempuan menyukai kerja-kerja yang disebut sebagai kerja-kerja perempuan.
Program-program itu tidak memberdayakan transpuan, melainkan melanggengkan ketidakberdayaan, pelemahan dan stereotip. Tidak semua transpuan punya minat dan bakat bekerja pada sektor kecantikan. Pemerintah perlu membuat wadah bagi transpuan agar mendapatkan pekerjaan yang layak, bukan hanya memberikan pelatihan-pelatihan di sektor kecantikan saja.
Echa pegiat hak-hak Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, Arus Pelangi menilai belum banyak transpuan yang bekerja di sektor formal karena sangat terbatasnya ruang-ruang inklusivitas terhadap orang-orang dengan ragam identitas gender. Padahal, negara punya kewajiban untuk menghormati, mengakui dan memenuhi hak asasi pada setiap manusia.
Negara juga wajib memberikan perlindungan khusus terhadap kelompok rentan dan minoritas karena tiap-tiap orang atau warga negara berbeda-beda. Perlakuan khusus, perlindungan khusus, dan afirmasi harus diberikan kepada kelompok rentan yakni transpuan, kelompok minoritas gender dan identitas gender. Negara harus mencegah diskriminasi, menghapuskan stigma dan prasangka pada kelompok-kelompok minoritas gender, identitas gender dan transpuan.
Menurut Echa dalam dunia kerja yang harus dilihat dan diperhatikan adalah kemampuan seseorang, bukan orientasi seksual. Negara sepatutnya tidak menjadi alat propaganda yakni membuat aturan diskriminatif yang berisi ajakan membenci kelompok dengan ragam identitas gender.
Data Arus Pelangi menunjukkan terdapat 45 perda diskriminatif terhadap LGBT pada 2016-2018. Perda-perda diskriminatif itu merendahkan, melanggengkan stigma. Perda itu menyematkan penyimpangan pada LGBT yang berdampak pada diskriminasi dalam segala aspek kehidupan transpuan dan LGBT. Diskriminasi terjadi pada akses pekerjaan, layanan kesehatan, dan hak asasi lainya.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan kesempatan kerja Kementerian Ketenagakerjaan tidak menanggapi permohonan wawancara yang dilayangkan melalui surat yang dikirim ke kantor Kemenaker pada Selasa, 23/04/2024. Surat itu diterima staf yang berjaga di kantor kementerian. Permohonan wawancara dilakukan berkali-kali dengan mendatangi kantor. Tapi, tak ada respons dari Kemenaker.
***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.
Penulis : Valensiya