Surat-surat Pendobrak Kemerdekaan

Surat-surat Pendobrak Kemerdekaan

Sumber gambar: pexels.com

 

Suatu desa terpencil di Italia bernama Viola sedang dalam masa panen raya. Bunga-bunga mawar bermekaran dan dihinggapi kupu-kupu nan indah. Di desa tersebutlah, seorang lelaki cerdas dan berjiwa sosial bernama Addofo tinggal.

Suatu ketika, terdengar dering telepon di rumah Addofo.

“Ayo kita berdiskusi,” ujar Alberto melalui telepon.

“Oke. Saya akan kesana,” jawab Addofo.

Ia pun bersemangat dengan ajakan tersebut. Baginya, ajakan tersebut merupakan panggilan jiwa yang harus dipenuhi agar rakyat desa Viola terbebas dari tanam paksa bunga mawar.

“Sayang, aku pamit, ya,” katanya kepada sang istri, Amadea.

“Kapan kau akan kembali?” tanya sang istri.

“Aku tidak tahu. Maafkan aku,” kata Addofo sembari menahan rasa sedih.

“Sebetulnya, aku juga sedih karena perpisahan ini. Namun, aku sudah ikhlas. Semoga Tuhan melindungimu,” ujar sang istri.

Addofo pun berangkat menuju kota Livorno dan mengucapkan “Bella Ciao” yang artinya “Selamat tinggal, Cantik” kepada istri tercinta.

Ia pun sampai di kota Livorno. Kota ini menjadi basis bagi para demonstran yang memperjuangkan hak-hak rakyat Italia yang terbelenggu oleh pemerintahan fasisme.

“Akhirnya kau datang juga. Silahkan masuk,” ujar Alberto.

“Terima kasih,” balas Addofo.

Di dalam ruang tertutup itu, para demonstran berkumpul pada suatu meja guna mendiskusikan rencana mereka di kota Roma nanti. Mereka berdiskusi hingga larut malam.

Esoknya, mereka sudah bersiap menuju kota Roma dengan membawa spanduk besar bertuliskan “Liberaci” yang artinya “Merdekakan kami”. Spanduk tersebut dibentangkan di halaman gedung pemerintahan. Saat massa sudah berkumpul, Alberto selaku pemimpin para demonstran berorasi di atas sebuah peti kayu.

“Kita sudah muak dengan pemerintah! Maka dari itu, kita harus melawan!” seru Alberto dalam orasinya.

Para petugas keamanan pun geram dan mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang dengan senapannya.  Melihat hal tersebut, para demonstran juga mengambil ancang-ancang dengan belati dan ketapel mereka.

Terjadilah kericuhan antara para petugas dengan para demonstran.

Dalam kericuhan tersebut, beberapa petugas tewas dan puluhan demonstran gugur, termasuk Alberto.  Sementara itu, Adoffo dan para demonstran lainnya ditangkap. Dan adapula demonstran lainnya  yang berhasil melarikan diri dari kejaran petugas.

Para demonstran yang berhasil tertangkap dimasukkan ke penjara di kota Pescara. Mereka semua ditempatkan dalam satu sel, kecuali Addofo.  Ia dianggap sebagai orang paling berbahaya karena kedekatannya dengan Alberto.

Suasana dingin dan pengapnya penjara Addofo rasakan hingga berbulan-bulan. Seringkali pula ia merasakan sakitnya disiksa oleh sipir.

“Tuhan, apakah aku akan mati sekarang?” ujar Addofo dalam hatinya.

Dan suatu ketika, ia diajak berbincang dengan penghuni sel sebelah, yakni seorang bapak bernama Alfonso. Dia bercerita bahwa dia dulunya adalah seorang pemimpin pergerakan rakyat dari kota Siena. Namun, semua pasukannya mati tertembak  dan dia pun masuk penjara. Tetapi, dia tidak menyerah. Di balik penjara, dia mencoba mengirim surat kepada rakyat kota Siena melalui sipir yang bertugas. Tetapi, usahanya gagal karena sipir tersebut merobek surat-suratnya.

“Oleh karena itu, jika kamu ingin tetap memperjuangkan daerah asal kamu, cobalah ikuti cara saya,” ujarnya dengan suara melemah.

Sesaat kemudian, Alfonso meninggal. Sejak saat itu, Addofo pun bertekad untuk mencoba cara dari Alfonso tersebut.

Setelahnya, ia membuat surat-surat untuk rakyat Desa Viola sekaligus mencari cara agar bisa kabur dan mengirim surat-surat itu ke kantor pos terdekat. Semua itu dilakukannya selama 10 hari. Pada hari ke-10, ia berhasil kabur melalui celah-celah di bagian atap penjara.

Melihat hal tersebut, sang sipir pun marah dan memerintahkan para rekannya untuk mencari dan menangkap Addofo.

Sementara itu, Addofo berhasil mengirim semua suratnya di kantor pos. Ia pun berniat untuk melakukan perjalanan pulang untuk memastikan bahwa semua perintah dalam surat-suratnya dijalankan dengan baik. Akan tetapi, di tengah perjalanan, dia bertemu dengan para petugas berseragam gagah dan membawanya kembali ke penjara kota Pescara. Disana, dia ditembak mati oleh sang sipir. Jasadnya pun dikuburkan di samping gedung penjara.

Biarpun Addofo sudah tiada, tetapi surat-suratnya sudah sampai di Desa Viola. Semua rakyat menerima surat darinya, termasuk Valentino, adik kandung Adoffo.

Seketika, jiwa kepemimpinan Valentino yang selama ini terpendam pun muncul.

“Wahai rakyat Desa Viola, kemarilah. Mari kita bicarakan tentang apa yang disampaikan kakakku melalui surat-suratnya,” teriak Valentino dari atas bukit kecil.

Setelah itu, semua rakyat Desa Viola berkumpul di lereng bukit dan membahas semua isi surat dari Addofo. Pembahasan tersebut memakan waktu empat jam hingga muncul sebuah kesepakatan.

“Oke. Kita akan berangkat ke Kota Roma esok. Bagaimana?” ajak Valentino.

“Setuju,” teriak semua rakyat.

Esoknya, mereka berangkat menuju Roma. Guna mendapat kekuatan lebih,maka diajaklah rakyat-rakyat dari wilayah lain yang mereka lewati. Senjata-senjata mereka pun beraneka macam : ada pedang, belati, tombak, granat, pistol, dan senapan laras panjang. Semua senjata tersebut merupakan hasil rampasan perang para pendahulu mereka yang sudah lama tak terpakai.

Sesampainya di Roma, para petugas keamanan langsung bersiap ingin bertahan dan menyerang. Namun, semua rakyat tersebut pantang mundur. Pertempuran pun tak terelakkan.

Akhirnya, para petugas keamanan berhasil ditaklukan. Gedung pun dibombardir dengan granat dan langsung membuat sang presiden tewas. Semua rakyat merayakan keberhasilan mereka dengan sukacita.

Di tengah rasa sukacita itu, muncul benak dalam otak Valentino.

“Wahai saudara-saudara, aku teringat pada isi dari salah satu surat bahwa Addofo dipenjara di kota Pescara. Jadi, alangkah baiknya kalau kita menjenguk dia. Bagaimana?” teriak Valentino.

“Setuju!” teriak semua pengunjuk rasa.

Mereka bergerak menuju kota Pescara. Sesampainya di gedung penjara, mereka tidak menemukan Addofo.

“Hei, kau kemanakan Addofo?” tanya Valentino kepada seorang sipir sambil menodongkan belatinya.

“Maafkan aku. Dia sudah mati. Dia dikuburkan di samping gedung penjara ini,” jawab sang sipir.

Setelahnya, sang sipir tewas dengan sayatan belati Valentino di bagian leher.

Para pengunjuk rasa pun bergerak menuju samping gedung penjara dan menemukan sebuah gundukan tanah dengan batu tertancap di atasnya.

“Kurasa ini makamnya,” ujar seorang pengunjuk rasa.

“Lebih baik, kita pindahkan dia ke Desa Viola, kampung halamannya,” ujar Valentino.

“Siap!” kata sebagian pengunjuk rasa yang berada di dekat makamnya.

Makam Addofo kemudian dibongkar dan jenazahnya dipindahkan ke Desa Viola. Sesampainya di desa, suasana haru membiru pun tercipta. Tetapi lain halnya dengan Amadea, istrinya. Dia terlihat lebih tegar dibanding penduduk desa lainnya.

Addofo dimakamkan di dekat perkebunan bunga mawar dan makamnya ditaburi bunga-bunga mawar nan indah sebagai bentuk penghormatan kepadanya.

Beberapa hari kemudian, berdasarkan aklamasi, Valentino terpilih  menjadi perdana menteri Italia yang baru.

 

Penulis: Alfat Tanjung

Editor: Muftihah Rahmah