Pelangi Berasap

Pelangi Berasap

Sumber gambar: Pixabay.com

 

 

Dira terlihat normal seperti anak pada umumnya. Rambutnya panjang dan dikuncir, serta mengenakan kaos seperti anak seusianya. Satu hal yang membuatnya berbeda, yaitu suka bermain pedang-pedangan.

Sifatnya ini pun terbawa hingga remaja. Meski raganya seperti wanita, tetapi jiwa maskulinnya terlihat kuat. Kesukaannya bukan lagi pedang-pedangan, melainkan sepakbola. Dira sering bermain bersama para pemain laki-laki saat waktu pelajaran Olahraga.

Dira sempat heran dengan minatnya yang seperti laki-laki, lalu dia mendapat jawaban dari guru Bimbingan dan Konseling (BK).

“Kamu sedang berproses menjadi transpria. Tetap semangat, ya,” ujar sang guru BK.

“Siap, Bu,” jawab Dira.

Ketika menjadi transpria, Dira sering bersikap berani terhadap apapun yang menurutnya tidak wajar. seperti mengusir dua siswa yang berpacaran, mengusir siswa yang merokok, sampai memukul siswa yang ikut tawuran. Karena tindakan beraninya itu, dia diangkat menjadi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Tingkah lakunya yang maskulin terbawa sampai menjadi mahasiswa di Universitas Parsubuana. Saat berada di kampus, dia tampak lebih berkharisma dibanding laki-laki pada umumnya. Banyak mahasiswa yang takut pada dirinya.

Ketika melihat hal-hal janggal, Dira akan bertindak tegas. Salah satu hal janggalnya seperti homoseksual. Dia tak segan untuk mengusir secara kasar pasangan sesama jenis yang berpacaran di lingkungan kampus.

Sama seperti manusia lainnya, Dira juga memiliki titik lemah. Saat Dira masih berkharisma kuat, Karina datang. Karina datang sebagai penggemar Dira karena tersihir oleh pesona sang perempuan maskulin.

“Hai, boleh kenalan, nggak?” kata Karina.

“Boleh,” jawab Dira yang terbuka terhadap siapapun yang bersikap sopan.

“Namaku Karina. Aku kagum sama keberanianmu di kampus. Bahkan, kamu lebih berani dibanding laki-laki kebanyakan di sini,” ucap Karina.

“Oh, ya, terima kasih,” balas Dira dengan rasa empatinya.

By the way, kamu mau nggak ikut aku ke mall? Aku nggak ada teman, nih,” kata Karina dengan nada yang seperti merayu.

“Hmm..boleh.”

Dira dan Karina pergi ke mall bersama. Rambut Dira yang bergaya side parted crew cut menyembunyikan jenis kelamin aslinya. Oleh sebab itu, dia merasa aman.

Tugas Dira hanya menemani, bukan untuk membayar. Jadi, semua barang belanja dibayar sendiri oleh Karina. Walaupun hanya menemani, Karina tetap bahagia. 

“Kamu mau ke mana lagi? Mau ke kutub selatan pun, akan kutemani,”

“Ah, bisa aja kamu,” ucap Karina.

Dari hari ke hari, hubungan Dira dan Karina kian dekat. Bahkan, keduanya sudah layaknya pasangan setia. Padahal, Dira tidak tahu bahwa ada udang di balik batu.

Suatu ketika, Dira kaget melihat foto-foto tak senonohnya bersama Karina ditempel di mading kampus. 

“Apa-apaan ini?” kata Dira dengan rasa kaget.

“Wah, ternyata lu punya kelemahan juga, ya,” ujar seorang mahasiswa pria.

Seketika, dunia seperti runtuh bagi Dira. Ia tak mau tinggal diam. Apabila ketemu pelakunya, hukuman akan diberikan.

Tak disangka, pelakunya adalah Karina. Sahabat karibnya itu sudah menjadi musuh dalam selimut.

“Kurang ajar kamu, aku sudah berikan semua keinginanmu, tetapi balasanmu malah seperti ini,” kata Dira dengan tangan yang ingin memukul Karina, namun tidak jadi.

“Kenapa nggak jadi? Pukul aja. Sekalinya aku sakit, itu nggak bakal mengubah keadaan, kok,” jawab Karina.

Dira pun terdiam sejenak. Seharusnya, ia berupaya untuk memulihkan kembali namanya dengan mengatakan bahwa dia telah difitnah. Meskipun demikian, upaya itu akan menjadi bumerang sebab seharusnya dia tak mudah terperdaya oleh Karina.

Dira pergi meninggalkan Karina. Pada saat itu, air matanya keluar dengan sendirinya. Sejak saat itu, dia menjadi benci terhadap semua wanita. Kebenciannya terhadap wanita membuat dirinya semakin dikucilkan.

Karena semua tekanan hidupnya, dia pergi ke sebuah jembatan untuk bunuh diri.

“Stop, jangan terjun ke bawah. Istighfar,” ujar seorang lelaki berpeci hitam di belakangnya.

Dira tetap ingin terjun, tetapi dicegah dengan cepat oleh lelaki bernama Ahmad itu.

“Sudah, kamu harus ikut aku,” ujar Ahmad.

Dira dibawa ke sebuah pesantren. Meskipun seperti pria, tetapi Ahmad tahu bahwa Dira adalah wanita.

“Kenapa kamu ingin bunuh diri?” tanya Ahmad setelah Dira sudah lebih tenang.

“Aku merasa kehilangan harga diri. Karena fitnah, semua orang menjauhiku, wibawaku turun. Aku juga benci wanita,” jawab Dira.

“Hei, jangan seperti itu. Walau kamu telah difitnah dan dijauhi, jangan patah semangat. Selagi kamu masih bernyawa, hidupmu masih bisa pulih, kok. Contohnya aku. Dulu, aku waria yang biasa bekerja di salon. Karena dianggap berbeda, aku dijauhi keluargaku. Untungnya, aku masih punya sedikit semangat sehingga bertekad untuk berubah. Akhirnya, aku datang ke pesantren ini. Alhamdulillah, aku sudah berubah,” jelas Ahmad.

Dira masih terdiam.

“Aku juga ingin mengatakan bahwa tidak semua wanita itu buruk. Ada juga wanita baik, mungkin termasuk kamu,” lanjut Ahmad.

Pujian Ahmad sebenarnya membuat Dira tersinggung, tetapi tidak bisa diungkapkan. Setelah merenung, semangatnya mulai tumbuh perlahan. Ia berniat untuk menjadi lebih baik.

Selama 6 bulan, Dira belajar di pesantren tempat Ahmad mengajar. Ia belajar fikih, tafsir, akhlak, dan lain-lain. Soal cuti akademik Dira, Ahmad telah mengurusnya.

Setelah belajar di pesantren, Dira kembali ke kampus dengan berhijab. Meskipun demikian, jiwa maskulinnya masih ada, tetapi lebih terkontrol. Ketika ada hal-hal melenceng, tetap ditindak tegas. Ketika ada yang mendekatinya, ia tolak mentah-mentah.

Karena sikapnya dan nama baiknya telah pulih, Dira terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampusnya.

 

 

Penulis: Alfat Tanjung

Editor: Miranti Nur Maelina