Salah Kaprah Konsep Tridarma Perguruan Tinggi
Ilustrasi Tridarma Perguruan Tinggi
LPM Progress - Tridarma Perguruan Tinggi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh mahasiswa dan dosen. Dosen sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi tidak hanya mempunyai tanggung jawab mengajar mahasiswa di dalam kelas. Namun, memiliki kewajiban melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi, yakni: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini termasuk dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat".
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, telah menyampaikan idenya dalam Konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) virtual, Sabtu (4/7). Ia menyampaikan bahwa Perguruan Tinggi dapat memilih salah satu dari unsur Tridarma. Sehingga regulasi sebelumnya yang membuat beban kerja dosen yang harus dikerjakan dalam satu semester dibagi menjadi tiga dapat dipilih salah satu saja.
Seperti yang diketahui tugas Dosen dalam Tridarma Perguruan Tinggi adalah; Pertama, dosen diharuskan mengajar mahasiswa dengan bidang keilmuannya masing-masing. Kedua, dosen dituntut melakukan penelitian ilmiah dalam bidang keilmuannya. Penelitian ini wajib dilakukan minimal sekali dalam satu semester sebagai syarat mendapatkan sertifikasi dosen, yang mana nantinya akan menerima tunjangan sertifikasi dosen dengan nominal satu kali gaji. Ketiga, pengabdian kepada masyarakat pun mesti dilaksanakan sebagai bentuk implementasi ilmu pengetahuan yang memberikan manfaat pada lingkungan sekitar. Dosen dituntut melakukan workshop, sosialisasi, ataupun penyuluhan kepada masyarakat berdasarkan bidang keilmuan yang dikuasainya dengan output berupa laporan pertanggung jawaban kepada perguruan tinggi yang bersangkutan. Pelaksanaan beban kerja tersebut dibagi berdasarkan presentase, yakni: pendidikan sebanyak 75%, penelitian atau riset sebesar 25%, dan 10% pengabdian kepada masyarakat.
Baca juga: Rektor Unindra: Prinsipnya Unindra Siap dengan Kampus Merdeka !
Menurut Riko, dosen Informatika Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), Tridarma Perguruan Tinggi sudah bermasalah secara konseptual. Ia menilai bahwa Tridarma adalah pelaksanaan tiga profesi sekaligus yang tidak sepele. Dia menuturkan, pertama, pendidikan adalah profesi guru; kedua, penelitian ialah profesi ilmuwan atau peneliti yang sudah diwadahi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); ketiga, pengabdian kepada masyarakat yang merupakan profesi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ketiga pekerjaan yang terangkum dalam Tridarma Perguruan Tinggi sesungguhnya tidak main-main yang membutuhkan keahlian dan keseriusan dalam menjalankannya. Menurutnya, konsep Tridarma yang mewajibkan seorang dosen untuk melakukan tiga pekerjaan sangat serius secara bersamaan, tentunya menjadi sebuah masalah ketika dipaksakan untuk diselesaikan dalam satu semester sekaligus.
Baginya Tridarma yang ideal cukup sederhana, yakni jangan melampaui sisi kemanusiaan. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dosen itu hanya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan dan kemampuannya masing-masing. Dengan konsep Tridarma saat ini seolah-olah dosen didewakan yang sanggup melaksanakan banyak hal sekaligus, seharusnya dosen diberikan tugas yang sesuai dengan kapasitasnya. Artinya, dosen diberikan keleluasaan dalam memilih atau fokus pada salah satu dari Tridarma.
"Biarkan ia [dosen], melaksanakan passionnya. Sejauh masih dalam koridor visi perguruan tinggi. Dan, masih dalam konteks Pendidikan,” tegasnya saat ditemui di rumahnya (8/9).
Tridarma Perguruan Tinggi yang saat ini dianut oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia seperti tidak menghargai sisi kemanusiaan dosen. Menurutnya Tridarma yang ideal adalah dengan mengurangi Tridarma kepada dosen.
“Dosen mengajar-mengajar aja, atau meneliti-meneliti aja [salah satu],” ungkapnya.
Ia menyimpulkan, ketika dosen tetap dipaksakan melaksanakan Tridarma secara bersamaan tentu berdampak pada kualitas kinerja dosen. Pengajaran yang dilakukan di dalam kelas menjadi kurang maksimal karena dosen harus membagi konsentrasinya dengan tanggung jawab lain. Sementara itu, penelitiannya pun menjadi setengah-setengah yang berujung pada sebatas kertas yang tidak berguna bagi masyarakat.
Reporter : R Hafizh Khoiruddin
Penulis : Alamanda Firdaus
Editor : Nira Yuliana