Memahami Toxic Masculinity Bagian Pengantar

Memahami Toxic Masculinity Bagian Pengantar

Ilustrasi oleh Darmawan

 

LPM Progress — "Hai, fren, apa kabs? Dah lama lu di sokin?" sorak Tria RQ, sembari memarkirkan motornya di tongkrongan pos ronda RT 06 ditemani sayup lagu Bukan Superman-nya The Lucky Laki.

Sebagai bocah tongkrongan yang bergelar S.P. (Sarjana Pertongkrongan), Tria adalah seorang lelaki maskulin dengan style garang anti nangis (apalagi karena cinta). Dengan kegarangannya, Tria membenci hal-hal yang menurutnya pantangan bagi laki-laki, macam galauin pacar sembari mendengarkan musik mellow khas Kunto Aji atau Nadin Amizah, bahkan dengan parasnya yang garang dan disegani di dunia pertongkrongan, ia sering menekankan aturan yang menjadi salah satu dari empat tema penting dalam Brannon Masculinity Scale (BMS) yaitu No Sissy Stuff yang berarti menghindari hal yang dianggap feminim dan harus menyembunyikan perasaan serta emosinya.

"Bocah gue ngga ada yang boleh nangis, apalagi karena cinta!" tegas Tria, sapaan akrab Tria RQ.

Tria adalah contoh manusia yang telah digerogoti oleh virus yang bernama stigma, padahal menangis adalah hal yang lumrah, menangis juga bagian dari emosi manusia.

 

Baca juga: 'Positive Vibes' yang Tidak Selamanya Positif

 

Coba kita bayangkan, jika anggota tongkrongan Tria sedang dilanda kegalauan tingkat tinggi karena diputus hubungan oleh pekerjaan dan pacarnya serta tidak punya uang untuk membayar kontrakan dalam waktu yang bersamaan, lalu karena penekanan aturan Tria, anggotanya pun terpaksa menahan sedih dan tangis demi tetap berada pada circle tongkrongan yang diketuai oleh Tria.

Aturan Tria sangat banyak dijumpai di penjuru dunia dan lebih dikenal sebagai "Toxic Masculinity." Hal ini juga menjadi salah satu penyebab yang dapat membunuh para laki-laki. Eits, ini bukan bualan semata, World Health Organization (WHO) merilis angka kematian akibat bunuh diri tahun 2016, dalam data itu terkuak bahwa laki-laki lebih mendominasi angka kematian akibat bunuh diri, mencengangkan bukan?

Fakta selanjutnya adalah perempuan lebih sering didiagnosa depresi dari pada laki-laki, mudah bercerita dibanding memendamnya membuat perempuan dapat ditangani. Apa karena konstruksi sosial yang melanggengkan citra laki-laki yang ‘harus selalu kuat, harus selalu tangguh’ seperti lirik lagu The Lucky Laki tadi, yang membuat laki-laki tidak bercerita mengeluarkan emosi dan perasaan, justru memilih untuk memendamnya?

Jika dipikir-pikir, hal tersebut sangatlah makse sense dengan kesimpulan bahwa penyebab banyaknya kasus bunuh diri yang menimpa laki-laki salah satunya karena stereotip yang hadir dikalangan masyarakat tentang laki-laki

“Emosi selain marah itu tak pantas untuk laki-laki, apalagi nangis,” sabda Tria.

Kita kembali kepada Tria dan tongkrongannya. Jika dilihat, Tria memanglah maskulin dan ingin menanggalkan kesan feminim di kehidupannya, padahal menurut Sandra L. Bem (1974), manusia memiliki kedua sifat tersebut dan kedua sifat ini berguna bagi kehidupan kita. Tapi kehidupan patriarkislah yang membuat polarisasi terhadap dua sifat ini.

 

​​​

Penulis : Darmawan

Editor   : Fadia Aulia Tsani