Mengenal Tradisi Unik Masyarakat Bugis dari Film Tarung Sarung

Mengenal Tradisi Unik Masyarakat Bugis dari Film Tarung Sarung

Sumber foto : jabar.tribunnews.com

Indonesia merupakan negara yang beragam dan di setiap wilayahnya memiliki etnik atau suku yang bermacam-macam. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, tepatnya ada 1.340 suku yang menempati wilayah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Atas keberagamannya ini, setiap suku juga memiliki tradisi yang berbeda-beda dan juga unik.

Dari berbagai tradisi yang beragam itu, tentunya ada tradisi yang sangat menarik untuk diceritakan, salah satunya yaitu tradisi masyarakat Bugis dari Makassar yang biasa dikenal dengan tradisi Si Gajang Laleng Lipa.  

Tradisi ini sangat unik, karena biasanya tradisi atau ritual suku-suku di Indonesia itu indah untuk dilihat tapi tidak dengan tradisi yang satu ini. Tradisi ini cenderung berbahaya untuk dilakukan dan bahkan berpotensi menghilangkan nyawa pemainnya.

Sebagai bentuk pelestarian dan untuk mengenali salah satu tradisi di Indonesia kepada masyarakat umum, Archie Hekagry menyutradarai sebuah film berjudul Tarung Sarung yang tayang pada 2 April 2020 di platform streaming digital Netflix. 

Film ini mengisahkan perjalanan Deni Ruso yang diperankan oleh Panji Zoni. Ia dihukum oleh ibunya agar tinggal di Makassar untuk membantu mengurus perusahaan ibunya dan berharap agar Deni Ruso dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. Seiring berjalannya waktu di Makassar, Deni bertemu dengan seorang perempuan bernama Tenri yang diperankan oleh Maizura.

Suatu hari, Tenri mengajak Deni Ruso untuk melihat tradisi unik masyarakat Bugis di pinggir pantai, yaitu tradisi tarung sarung dimana ada dua orang bertarung di dalam sebuah sarung yang sama dan dalam pertarungannya dapat menggunakan tangan kosong atau menggunakan senjata badik (senjata khas Bugis).

Saat Deni Ruso sedang mencoba tradisi tarung sarung dengan Tenri, tiba-tiba Sanrego yang diperankan oleh Cemal Faruk, seseorang yang mencintai Tenri itu melihat dan mendatangi mereka untuk mengajak duel Deni Ruso. Tetapi karena Deni Ruso merupakan pendatang baru, maka ia belum bisa menerima tantangan Sanrego. Dari sinilah Sanrego mulai merasa benci dengan keberadaan Deni Ruso.

Seiring berjalannya waktu, Deni Ruso semakin dekat dengan Tenri. Hal ini membuat Sanrego marah dan ia bersama anak buahnya terus meneror Deni Ruso agar menjauhi Tenri. Suatu hari, saat Tenri sedang berjalan-jalan bersama Deni Ruso, Sanrego memergoki mereka dan menghadang Deni Ruso untuk mengajak berduel didalam sarung. Tetapi karena Deni Ruso masih belum mahir, ia pun kalah dalam pertarungan tersebut.

Karena kekalahan tersebut, dendam dalam diri Deni Ruso tumbuh dan ia berniat ingin membalas semua perbuatan Sanrego dengan menyewa preman untuk mengeroyok Sanrego, tetapi itu semua tidak berhasil sebab dihalangi oleh Tenri dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Bugis ketika ada masalah harus diselesaikan dengan cara masing-masing dan bukan dengan keroyokan.

Setelah peristiwa tersebut, Deni Ruso meminta kepada paman temannya Tenri, yaitu Khalid Rewa yang diperankan oleh Yayan Ruhian untuk mengajarinya tarung sarung. Ia merupakan orang yang sangat hebat dalam tradisi tarung sarung, namun ia sudah bertaubat karena dulu pernah membunuh saudaranya sendiri akibat memperebutkan seorang wanita yang mereka cintai.

Khalid Rewa pun menyetujui Deni Ruso menjadi muridnya dan di kemudian hari Deni Ruso dilatih olehnya agar dapat mengikuti turnamen tarung sarung di Makassar. Khalid menantang Sanrego untuk melawan muridnya, yaitu Deni Ruso untuk mengalahkannya di turnamen tarung sarung tersebut. Dengan kegigihan dan semangat berlatihnya, Deni Ruso berhasil mengalahkan Sanrego yang dalam perjalananya tidak pernah terkalahkan selama 3 tahun berturut-turut.

Dari film tersebut, sutradara berusaha memberikan wawasan budaya kepada penonton mengenai tradisi unik masyarakat Bugis dalam menyelesaikan masalah yaitu Si Gajang Laleng Lipa yang artinya berduel satu sarung.

Menurut buku Homo Homini Humor yang di tulis oleh Fariz Alniezar, ketika ada pertikaian antara kedua belah pihak jika menemui jalan buntu untuk berdamai maka jalan terakhir yang dipilih yaitu berduel dalam sarung, dengan masing-masing menggunakan badik (senjata) terbaiknya. Biasanya duel ini menyangkut hal-hal yang paling krusial dalam hidup seperti harga diri dan kehormatan. 

Berakhirnya Si Gajang Laleng Lipa ditandai dengan terbunuhnya salah satu pihak atau bahkan bisa kedua pihak yang terbunuh. Setelah pertarungan berakhir, masalah dianggap selesai sebab semua masalah yang telah "masuk ke dalam sarung" tak boleh lagi dipersoalkan di luar sarung dan kedua pihak yang saling bermasalah tidak boleh memiliki dendam lagi karena tradisi ini bersifat final atau akhir.

 

 

Penulis: Wahid Abid
Editor: Alinda Dwi Agustin