Tiga Warga Asal Mojokerto Kirim Surat Ke Istana Negara Jalan Kaki
LPM Progress – Tiga warga asal Mojokerto, melakukan aksi jalan kaki selama delapan hari dari Mojokerto sampai Jakarta. Mereka tiba di depan Istana Negara pada Kamis (6/2), sekitar pukul 16.00 WIB. Bertepatan dengan Aksi Kamisan ke-621, ketiga warga tersebut membawa surat untuk Presiden Joko Widodo agar membebaskan hutan lindung, sungai, cagar budaya, situs religi (Makam Kyai Ageng), dan area pertanian dari aktivitas pertambangan.
Ketiga warga tersebut adalah Ahmad Yani (45), Sugiantoro (31), dan Heru Prasetiyo (24) berjalan menuju Jakarta untuk menjadi perwakilan dari seluruh masyarakat Desa Lebakjabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Mereka memulai perjalanan sejak tanggal 26 Januari 2020.
Mereka menyusuri jalan melalui jalur selatan mulai dari Mojokerto, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Sragen, Boyolali, Salatiga, Semarang hingga akhirnya tiba di Jakarta. Ahmad Yani dan kedua kawannya bermodalkan uang sebesar Rp602 ribu, beberapa pakaian ganti, secarik bendera merah putih dan spanduk bertuliskan “Jangan Jadikan Kami Salim Kancil yang ke-2 di Jawa Timur”. Dana yang menjadi modal mereka berasal dari donasi warga Desa Lebakjabung.
“Kami terus memperjuangkan hak-hak kami. Karena di sana kebiasaan kami bertani dan juga bertenak ikan. Tapi sekarang sawah-sawah dan hutang lindung kami sudah di rusak oleh pengusaha tambang,” ujar Ahmad Yani saat berorasi bersama Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Sebelum berjalannya aksi jalan kaki ini, mereka sudah melaporkan kasus ini dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten hingga kepada Gubernur Jawa Timur, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian.
Pada tanggal 7 Januari 2015, 50 warga Desa Lebakjabung datang ke kantor Gubernur untuk membawa surat penolakan, namun hanya diterima Satpol PP dan tidak pernah ada tindak lanjut. Ahmad Yani juga menuturkan bahwa setelah ia melaporkan kejadian ini ke Gubernur, ia mendapat berbagai macam intimidasi.
“Setelah melapor ke Gubernur, kami diancam akan diculik dan dibunuh. Mau mengadu kemana lagi kami Pak Jokowi ? Kami ini warga negara Indonesia, kami bukan sapi, kami juga manusia yang ingin hidup tenang,” tuturnya.
Mereka sudah melakukan upaya pemulihan melalui organisasi Gabungan Komunitas Peduli Lingkungan (Gakopen) pada tahun 2018. Pemulihan dilakukan dengan cara menanam pohon di bantaran Sungai Boro dan wilayah-wilayah yang gundul akibat penambangan dan perambahan di hutan lindung.
Gakopen juga mengembangkan desa wisata dengan program wisata religi seperti situs peninggalan Majapahit, wisata alam river tubing, dan wisata kuliner. Bertujuan agar menjaga ekosistem sungai mencegah bencana banjir. Ia juga menambahkan bahwa banjir bandang pada tahun 2004 terjadi akibat dirusak aktivitas pertambangan.
Pada 11 Oktober 2018, tiba-tiba CV. Sumber Rezeki datang memaksa melakukan penambangan. Namun warga menolak rencana pertambangan saat diskusi di Balai Desa. Warga menganggap pertambangan akan berdampak pada rusaknya lingkungan dan sumber air yang menjadi kebutuhan warga sehari-sehari.
Setahun kemudian, pada tanggal 7 Desember 2019, perusahaan kembali memaksakan penambangan dengan membawa satu unit ekskavator dan membawa surat izin tambang yang tak pernah disepakati warga sekaligus melakukan penambangan batu andesit hingga 20-25 truk per hari. Lalu pada 23 Januari 2020, perusahaan menambah jumlah ekskavator untuk melakukan penambangan. Dengan diiringi pengawalan preman yang kerap mengintimidasi warga yang sedang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan situs-situs penting Majapahit, penambangan pun makin masif dilakukan.
“Kami tidak ingin kompensasi dari pihak pengusaha tambang, kami ingin kelestarian budaya kami, kelestarian hutan dan kelestarian perikanan kami kembali,” ujar Ahmad Yani.
Didampingi peserta Aksi Kamisan, ketiga warga Mojokerto tersebut memberikan surat ke Sekretariat Negara(Setneg). Mereka hanya ingin sungai dan hutan lindung bebas dari aktivitas pertambangan dan membiarkannya bekerja sesuai dengan fungsinya, memberikan fungsi layanan alam bagi seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini.
Penulis : Muhamad Fasha
Editor : Refa Tri Ustati