Hanya Perempuan yang Bisa Menjadi Feminis, Laki-laki?
*Tulisan ini telah diedit dalam hal kesalahan istilah penulisan (30/6).
"Laki - Laki emang harus Feminis?"
Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul begitu saja saat saya sedang menonton performance idola saya, Harry Styles di kanal Youtube. Bagaimana tidak, menggunakan cat kuku dengan warna - warna cerah dan sulit untuk diungkapkan apabila digunakan oleh seorang laki-laki: pink, hijau tosca, biru muda, mengiasi seluruh kuku di tangannya. Menggunakan macam-macam aksesoris seperti cincin, hingga kalung dan anting mutiara.
Saya paham betul bahwa ia juga mendukung aksi tentang kesetaraan ras, gender, dan aksi kemanusiaan lainnya. Tapi ada salah satu hal yang lantas membuat saya kehilangan akal untuk beberapa saat, melihatnya mengenakan pakaian layaknya dress di salah satu musik video-nya “falling”, dan beberapa photoshoot. "Apa yang kau lakukan?!" teriak saya histeris.
Walaupun sejujurnya saya ingat, ia pernah bilang bahwa ia melakukan semua itu karena ia menyukai hal yang unik dan itu keren. Ia merasa nyaman dengan dirinya sendiri, apa yang ia pakai dan tidak memandang suatu benda atau apapun berdasarkan gender.
Saya pernah membaca sebuah artikel dari L'officiel pada tahun 2019, Harry menyatakan bahwa ia tidak tertarik dengan konsep feminin atau maskulin. Ia juga menyebut bahwa dirinya bukanlah seorang feminis. "Saya tidak berpikir masih ada orang yang melihat (cara berpakaian/apapun) dari diferensiasi gender. Bahkan jika maskulin dan feminin ada, batasan tersebut adalah sebuah permainan. Kita tidak perlu lagi ini dan itu," katanya.
Ia juga menambahkan jika seseorang hanya perlu berusaha menjadi lebih baik. Wajar bukan apabila hal-hal tersebut dilakukannya karena ia bekerja di bidang hiburan. Tapi yang jelas, untuk saat ini saya tidak akan membahas Harry Styles, melainkan haruskah laki-laki menjadi feminis?
Tapi apa sih Feminisme itu?
Belakangan ini, banyak sekali yang membahas tentang Feminisme. Tapi sebelumnya saya ingin mengartikan terlebih dahulu arti dari kata - kata tersebut:
- Feminin : kata sifat yang bersifat “kewanitaan”
- Feminis : gerakan yang mendukung kesetaraan, baik laki-laki maupun perempuan, dan dapat dilakukan tanpa memandang gender.
Jadi intinya, feminisme adalah keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak dan peluang yang sama. Tentunya, feminisme tidak melulu tentang kesetaraan pada bidang politik dan ekonomi, tetapi kesetaraan sosial juga hal yang paling penting. Karena tentunya banyak orang yang ingin melihat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan peluang yang sama dalam hal apapun.
Mungkin ada yang bertanya, apa sih pengaruhnya ‘gue’ laki-laki memiliki sifat feminin?
Pastinya kalian pernah melihat atau mendengar berita yang beredar jika seseorang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Baik kekerasan dalam berumah tangga, kekerasan dalam berpacaran, dan hal tersebut paling banyak dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Banyak perempuan yang menjadi korban dan tidak jarang si korbanlah yang disalahkan. Pernah terlintas dipikiran saya apabila dengan adanya laki-laki yang menyadari arti feminisme itu sendiri, akan sangat menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki hanya perlu berhenti melakukan kekerasan terhadap perempuan, baik pelecehan verbal atau seksual, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Walaupun tidak semua laki-laki melakukan kekerasan, karena tidak semua laki-laki seperti itu. Tetapi alangkah baik jika laki-laki pun menyadari bahwa mereka memiliki nenek, ibu, saudara perempuan, adik, teman, dan pacar perempuan.
Kehidupan yang terjalin cukup dekat, masalah-masalah keselamatan dan kesetaraan perempuan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan laki-laki. Di luar itu, perempuan adalah manusia, laki-laki juga manusia tentunya, dengan hak yang sama untuk keselamatan dan kebebasan yang sama.
Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan, sebagai manusia sangat diperlukan kesadaran dan kepedulian untuk terlibat dalam menghadapi berbagai permasalahan perempuan dimana pun, baik di sudut rumah, bahkan di lingkungan yang lebih luas. Melindungi perempuan bukan berarti perempuan itu lemah. Apabila selama ini perempuan dianggap lemah karena ia menangis sedangkan laki-laki itu kuat karena ia tidak menangis. Padahal, semua laki-laki pun bisa menangis selayaknya manusia biasa. Hanya saja laki-laki merasa malu dengan adanya stereotip yang melebeli bahwa laki-laki itu ‘tidak boleh menangis, harus kuat, tidak boleh lemah seperti perempuan’.
“Ah, masa gue nangis, gak macho banget!”
Padahal sejak kita dilahirkan pun semua pasti menangis. Kalau tidak menangis pasti ada sesuatu yang salah, benar bukan? Jadi laki-laki, enggak apa-apa kalau kalian menangis. So, jangan malu lalu men-cap diri kalian lemah hanya karena menangis.
Lantas bagaimana cara kita menjadi feminis?
Saya setuju dengan pernyataan yang Harry Styles buat, bahwa kita tidak perlu membuat lebel feminin atau maskulin. Bukan karena saya salah seorang penggemarnya dan membenarkan segalanya yang ia lakukan, bukan. Karena apapun keadaannya, kita hanya perlu berusaha untuk menjadi baik. Kekerasan terhadap perempuan seharusnya sudah tidak perlu dilakukan lagi oleh laki-laki. Tidak perlu julukan feminis untuk berjuang menjunjung hak-hak perempuan. Karena kesetaraan itu bukanlah sebuah konsep, bukan sesuatu yang harus kita perjuangkan, melainkan sebuah keharusan. Kesetaraan itu di ibaratkan sebuah gravitasi. Kita membutuhkan itu untuk berdiri di bumi ini sebagai laki-laki dan perempuan, sebagai manusia. Semua akan menjadi lebih baik, apabila kita berbuat baik.
Saya pun masih harus banyak belajar mengenai hal-hal seperti ini. Mencoba meluangkan waktu untuk mendengarkan, mendidik diri sendiri untuk dapat memperjuangkan keadilan dan persamaan hak untuk semua di masa yang akan datang. Because everyone should be equal.
Penulis: Shalsabilla Inez
Editor: Astin Kho