
Langit Mendung Jono
Sumber gambar: Suasana Langit di Siang Hari. Dok/LPMProgress/NadyaNoordyanti
Waktu pulang sekolah tiba, aku berjalan menuju rooftop sekolahku. Alasan mengapa aku tidak langsung pulang ke rumah adalah rasa malas yang kerap muncul di setiap hariku. Ya, rasa malas untuk mendengar pertengkaran kedua orang tuaku, malas berteman dengan gadget dan playstation yang hampir setiap hari aku mainkan, juga malas membuka buku pelajaran karena aku sulit fokus belajar di tengah berbagai masalahku. Aku merasa bahwa ini adalah puncak di mana aku benar-benar malas merasakan semua itu, sehingga aku memilih untuk tidak langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rooftop, aku berbaring dan menatap langit. Aku berbaring sambil melihat indahnya langit yang cerah itu. Jujur saja, kelas XII ini terasa sangat melelahkan untukku, hingga aku merasa butuh waktu untuk sekadar berbaring dan menata solusi untuk setiap masalahku. Aku bukan lelah karena tugas-tugas atau dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK) karena sering datang terlambat. Aku merasa lelah karena masalah-masalah di luar sekolah.
Masalah yang datang kepadaku ini terasa sangat banyak dan rumit. Hal yang lebih membuat rumit adalah masalah itu datang dari keluargaku sendiri. Masalah-masalah itu datang seperti aliran sungai yang deras. Tiba-tiba saja aku teringat akan kata-kata yang akhir-akhir ini sering muncul di sosial media.
"Langit... Bisakah kau turunkan hujan dengan petir? Aku ingin menangis tanpa terlihat, ingin menjerit tanpa terdengar."
Seketika aku tertawa, konyol sekali. Banyak hal yang sedang aku keluhkan dan renungkan. Saat merenung, aku mendengar suara langkah kaki menuju rooftop. Ternyata orang itu adalah Pak Iwan, petugas keamanan sekolahku. Ia datang sambil membawa segelas kopi dan bertanya kepadaku
"Sedang apa, Jon? Kok belum pulang? Sudah sepi loh."
"Saya malas pulang, Pak."
"Kok murung?"
"Saya bingung Pak, rasanya dulu saya punya banyak masalah juga tapi bisa santai aja, kali ini rasanya berat, Pak."
"Hidup memang seperti itu, Jon. Ketika kita bisa menghadapi suatu masalah, pasti kita diuji dengan masalah yang lebih besar, supaya kita menjadi semakin kuat."
"Hahaha, rasanya saya mau nangis aja Pak, sambil bilang: langit... bisakah kau turunkan hujan dengan petir?"
"Huss... Jangan bilang begitu! Lihat tuh, kalau tiba-tiba turun hujan bagaimana? Di rumah bapak lagi jemur kasur, istri bapak di kampung. Kalau hujan dan kasur bapak basah kamu mau tanggung jawab?"
"Hahaha maaf Pak, habis saya kadang ingin menangis. Saya enggak punya teman untuk cerita, di rumah anak satu-satunya, orang tua saya juga sering bertengkar dan jarang ada yang di rumah, Pak. Kalau bunuh diri enggak dosa rasanya saya mau bunuh diri saja."
"Ya enggak apa-apa, Jon. Kalau kamu mau nangis, ya nangis aja. Sedih itu wajar Jon, kalau kita nggak boleh sedih buat apa Tuhan menciptakan rasa sedih? Kalau bingung mau cerita ke siapa, mungkin kamu enggak merasa nyaman sama orangnya. Kalau nyaman pasti kamu bisa cerita, Jon. Ngapain bunuh diri segala? Buat apa bunuh diri?"
Mendengar perkataan Pak Iwan air mataku langsung tumpah, entah kenapa aku langsung menangis dan rasa lelahku makin menjadi-jadi. Pak Iwan terkejut dan langsung mengusap bahuku.
"Ndak apa-apa Jon, ini ujian buatmu. Bapak yakin kamu pasti bisa melalui itu semua. Kamu boleh sedih Jon, tapi jangan berlarut-larut ya. Kalau kata orang Inggris life must go on, betul ndak? Bapak udah cocok jadi orang Inggris belum, Jon?"
Mendengar Pak Iwan yang menasihatiku sambil bercanda aku jadi tertawa dan terhibur. Benar juga kata Pak Iwan. Aku langsung mengusap air mataku dan tersenyum pada Pak Iwan.
"Terima kasih, Pak. Seumur hidup saya, baru kali ini saya merasa ada sosok seorang ayah."
"Iya, sama-sama Jon, kalau ada apa-apa, kamu boleh cerita ke bapak ya Jon. Bapak biasa di sini kalau anak-anak sudah pulang semua, kalau sudah jam 5 bapak langsung pulang. Anak bapak yang paling kecil rewel kalau bapak belum pulang Jon."
"Pasti beruntung ya Pak jadi anak Bapak."
"Semua ada kelebihan dan ada kekurangannya, Jon. Kamu nggak bisa melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja. Apapun yang kita punya, hidup harus tetap kita jalani, nikmati, dan syukuri Jon. Belum tentu orang lain bisa seberuntung kita."
"Iya juga ya Pak.. Oh iya, omong-omong ini sudah jam 16.35 Pak. Anak Bapak pasti nungguin.”
"Wah iya juga Jon, untung kamu ingetin. Hahaha yuk kita turun."
Sekali lagi aku menatap langit cerah yang diselimuti awan itu, aku merasa sangat bersyukur hari ini karena kembali diingatkan bahwa aku tidak boleh menyerah dan mungkin saja aku lebih beruntung dari orang-orang di luar sana.
Langit, bisakah kau tetap cerah seperti ini? Aku ingin berbagi banyak kisah kepadamu.
Aku dan Pak Iwan turun dan menuju ke rumah masing-masing. Tentu saja dengan harapan agar aku bisa lebih baik dari hari-hari kemarin, lebih kuat, dan lebih sabar dari sebelumnya.
Penulis: Nadya Noordyanti
Editor: Nira Yuliana