Berani Tidak Disukai, Cara Baru untuk Bahagia?

Berani Tidak Disukai, Cara Baru untuk Bahagia?

Sumber gambar: Dok/LPM Progress/DwiKangjeng

 

Judul                : Berani tidak disukai

Penulis            : Ichiro Kishimi & Fumitake Koga

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan           : Kedelapan, Januari 2021

Jumlah halaman: 323 halaman

ISBN               : 978-602-06-3321-3 

 

Berani tidak disukai, judul yang provokatif bukan? Awalnya saya tidak tahu mengenai buku ini. Satu satunya buku Jepang yang saya baca adalah sebuah novel pendek berjudul Gadis Minimarket karya Sayaka Murata, sebab saya tidak begitu memperhatikan buku-buku dari Jepang. Kalau begitu, bagaimana cara saya menemukan buku ini? Pertama kali saya menemukannya dan tertarik membacanya, adalah saat saya mendapati Suga BTS membaca buku ini, mengingat BTS juga sering kali mengkampanyekan "Love Yourself". Alasan ini adalah alasan yang sama ketika saya pertama kali tertarik dan membaca habis buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokbokki.

Berani tidak disukai karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga cukup membuat pembaca tercengang-cengang akan isinya. Dalam setiap babnya, pembaca diajak untuk berpikir dan berefleksi atas kehidupan sehari-hari. Beberapa permasalahan yang diangkat relevan dengan kehidupan banyak orang. Judulnya seolah menyiratkan untuk hidup tidak peduli tentang orang, selain itu permasalahan yang lebih kompleks juga dibahas. Buku ini ditulis dalam bentuk percakapan, alur buku ini adalah percakapan antara seorang filsuf dan pemuda yang tidak puas dengan hidup. Seluruh buku ini memuat diskusi mengenai bagaimana pemuda tersebut memandang dunia dan filsuf yang mengajak sang pemuda melihat dunia dari sisi lain.

Pemuda digambarkan sebagai sosok yang keras, dalam percakapannya dengan sang filsuf, ia berbicara agak kasar. Karena sejak awal pemuda ini tidak memiliki kepercayaan diri, dia tidak puas mengenai latar belakang pribadi, akademis, dan penampilan fisiknya. Dia memandang dunia ini rumit, baginya kebahagiaan itu tidak ada. Hal itu berbanding terbalik dengan semua klaim filsuf yang mengatakan bahwa, “hidup ini sederhana”, “manusia bisa berubah”, “semua orang bisa bahagia”. Klaim filsuf terdengar seperti fantasi baginya, karena itulah dia bertekad membongkar habis teori-teori filsuf eksentrik itu.

Buku yang terdiri dari lima bab ini mengungkapkan teori psikologi Adler. Sang filsuf mengklaim bahwa teori psikologi Adler sejalan dengan filosofi Yunani dan layak untuk dijadikan kajian tersendiri. Hal pertama yang diungkapkannya kepada pemuda adalah mengenai teleologi dan perbandingannya dengan aetiologi. Aetiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan sebab akibat, yang selama ini telah kita kenal. Contohnya seperti: seseorang yang mengalami trauma biasanya diartikan karena mengalami sebuah kejadian yang tidak menyenangkan di masa lampau. Itulah yang disampaikan dalam teori aetiologi (hubungan sebab akibat), yang mana berbanding terbalik dengan teleologi.

Dengan teleologi, sang filsuf mengklaim bahwa trauma itu tidak ada. Sebuah hal yang begitu sulit diterima oleh sang pemuda. Sang filsuf mengatakan bahwa tidak ada pengalaman apapun di masa lalu yang dengan sendirinya menyebabkan keberhasilan ataupun kegagalan bagi kita. Kita tidak menderita trauma akibat pengalaman kita. Kita tidak ditentukan oleh pengalaman kita namun, kita sekarang ditentukan oleh makna yang kita berikan pada pengalaman kita. Hidup kita saat ini tidak ditentukan oleh apapun (termasuk pengalaman buruk), melainkan sesuatu yang kita pilih sendiri dan kita sendirilah yang memutuskan bagaimana cara kita menjalani hidup. Sang filsuf sebenarnya tidak menyampingkan fakta bahwa pengalaman buruk benar-benar tidak berpengaruh, pengaruhnya kuat. Namun, yang terpenting, tidak ada yang benar-benar ditentukan oleh pengaruh tersebut, kita menentukan hidup kita sendiri, menurut makna yang kita berikan pada setiap pengalaman.

Sama halnya dengan tujuan penulisan buku ini yaitu “membuat hidup lebih sederhana”, materi serta permasalahan yang diangkat dibawakan dengan sederhana. Penggunaan contoh kasus dalam buku ini membuat pembaca mudah memahami pandangan yang disampaikan oleh filsuf. Bagaimana cara filsuf membedah dua atau lebih contoh kasus dengan menggunakan sebuah teori merupakan sebuah hal baru bagi pembaca. Bahkan dalam satu contoh kasus pun bisa dibedahnya dengan cara yang berbeda dalam teori yang berbeda.

Hal lain yang tidak membuat buku ini monoton adalah cara sang pemuda yang digambarkan begitu menggebu-gebu dalam menyangkal setiap teori yang dipaparkan. Penangkalan yang muncul melalui pemuda seolah betul-betul menyampaikan isi pikiran pembaca. Susunan yang rapi terkait segala penyangkalan membuat alurnya berjalan dengan baik. Semua berkat transisi yang mulus dan penggambaran pemuda yang mewakili pandangan masyarakat kebanyakan.

Sebetulnya, sebagai buku yang membawakan filosofi dan teori psikologi, buku ini masuk dalam kategori buku yang betah dibaca dalam waktu lama. Meski begitu, sangat disayangkan bagaimana akhirnya beberapa topik terlewat begitu saja, kurang mendalam karena pembahasan terlalu cepat. Maka pembaca perlu membaca ulang agar menyerap maksudnya dengan baik. Namun, secara keseluruhan buku ini menarik, cocok untuk orang-orang yang ingin melihat dunia melalui sudut pandang lain. Cocok pula dibaca oleh orang-orang yang memiliki karakter seperti pemuda yang digambarkan, sosok yang tanpa sadar masih mengenakan kacamata hitam, sosok yang memandang gelap kehidupan. 

 

Penulis: Dwi Kangjeng

Editor: Nira Yuliana