Jurus Mabuk Unindra Tangani Kekerasan Seksual

Jurus Mabuk Unindra Tangani Kekerasan Seksual

Sumber gambar: Freepik.com

 

Hati saya remuk redam melihat postingan Instagram LPM Progress, pada Kamis, 12 Desember 2024. Unggahan itu berisi pernyataan sikap LPM Progress, Komunal Bawah Tanah (Kombat), dan GMNI Unindra yang mengkritik penanganan kasus kekerasan seksual di Unindra.

Empat hari sebelumnya, LPM Progress mewartakan sebuah kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswa Unindra. Rektorat gagap menghadapi kasus kekerasan seksual itu. Alih-alih ditangani Satgas PPKS, kasus itu justru ditangani secara serampangan oleh banyak pihak. Ibarat film Kung Fu Jackie Chan, Unindra menggunakan “jurus mabuk” untuk menghalau kekerasan seksual di kampus.

Menurut rilis LPM Progress, kasus itu ditangani oleh Kepala Program Studi (Kaprodi) Bimbingan Konseling (BK), dosen pembimbing akademik korban, Wakil Rektor 1, hingga organisasi mahasiswa yang sebenarnya tidak punya kompetensi penanganan kasus.

Masih menurut rilis, Kaprodi BK memanggil penyintas untuk meminta keterangan kasus yang dialaminya. Kaprodi yang seharusnya paham psikologi seseorang, justru mempertemukan penyintas dengan pelaku dalam satu forum. Ia beralasan, apa yang dilakukannya itu merupakan metode konseling kelompok. Istilah mereka, bertabayun atau mencari tahu mengenai kebenaran kronologi kasus.

Celakanya lagi, dosen pembimbing akademik yang notabene paham ilmu konseling itu malah menyudutkan penyintas. Ia menganggap penyintas “meladeni pelaku” hanya karena membalas chat di pesan singkat. Dosen itu nampaknya tak paham “relasi kuasa” dalam kasus kekerasan seksual.

Yang mana status pelaku sebagai kakak tingkat (Kating) dalam relasi dengan penyintas punya kedudukan lebih tinggi; atau lebih berkuasa. Melalui kuasanya itu, pelaku memanipulasi penyintas. Kondisi itu membuat penyintas mau-tidak mau merespons pelaku, walaupun hatinya tidak nyaman.

Pada berbagai kasus kekerasan seksual, ketimpangan relasi kuasa merupakan penyebab utama terjadinya extra ordinary crime ini. Relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan penyintas.

Ketimpangan relasi kuasa bukan persoalan enteng dalam kasus kekerasan seksual. Menurut Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, ketimpangan bisa menyebabkan penyintas takut melaporkan apa yang dialaminya. Apalagi, kekerasan seksual masih dianggap sebagai aib yang tidak pantas untuk diumbar.

Mestinya, ketika ada penyintas yang berani speak up, rektorat mendukung dan melindungi, bukan malah menyudutkannya. Sebab, tidak mudah bagi penyintas untuk speak up. Reza Indragiri berpendapat, butuh waktu lama bagi penyintas untuk mengumpulkan keberanian.

Sejak awal, penanganan kasus ini mal prosedur–jika tidak mau disebut cacat prosedur–sebab, Kaprodi, dosen pembimbing akademik, Wakil Rektor, hingga organisasi mahasiswa, tidak punya wewenang menangani kasus kekerasan seksual.

Satu-satunya pihak yang berwenang adalah Satgas PPKS, ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Pendidikan Tinggi, dan Riset (Permendikbud Ristek) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Dalam Pasal 29 beleid itu, Satgas PPKS berwenang memanggil dan meminta keterangan pelapor, korban, saksi, terlapor, pendamping, dan ahli. Adapun rektorat hanya memfasilitasi untuk menghadirkan para pihak.

Penanganan kasusnya pun harus memperhatikan kebutuhan penyintas. Pasal 4 beleid ini menyebut, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip: kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi, akuntabilitas, dan independen.

Namun sayang, pada penanganan kasus ini tidak diterapkan prinsip kepentingan korban, keadilan dan kesetaraan gender, dan akuntabilitas. Alih-alih memikirkan kepentingan korban, rektorat malah bersimpati pada nasib terduga pelaku.

Mereka menanyakan kepada korban, apakah tidak kasihan dengan nasib terduga pelaku. Mereka menganggap nasib terduga pelaku terancam karena kasus ini viral, dan nama si terduga pelaku terpampang jelas dalam pemberitaan LPM Progress.

Penanganan kasus ini juga tidak berperspektif korban, yang mana itu merupakan aspek mutlak dari prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Perspektif korban sangat penting dikedepankan; segala kesaksian korban harus diamini tanpa menghakimi atau meragukannya, sampai terbukti sebaliknya dalam proses pembuktian.

The Global Women's Institute–lembaga internasional yang berfokus pada peningkatan kesetaraan gender–pada tahun 2013 menerbitkan pedoman penanganan kasus kekerasan seksual dengan pendekatan yang berorientasi pada korban.

Pendekatan ini bertujuan memberdayakan para korban dengan memprioritaskan hak, kebutuhan, dan keinginan mereka. Pendekatan ini guna memastikan akses layanan yang tepat, mudah dijangkau, dan berkualitas; termasuk akses kesehatan, dukungan psikologis dan sosial, keamanan, dan layanan hukum.

Prinsip akuntabilitas juga tidak berlaku dalam penanganan kasus ini. Rektorat tidak terbuka dalam penanganan kasus. Alih-alih memberikan informasi, mereka justru mengintimidasi LPM Progress yang mengangkat pemberitaan ini. Alasan klasik yang kerap didengungkan dalam kasus kekerasan seksual, rektorat berlindung di balik “nama baik kampus.”

Setelah riuh gemuruh kasus, Satgas PPKS baru angkat bicara mengupdate perkembangan penanganan kasus, pada Sabtu (21/12/2024) melalui Instagram. Satgas PPKS mengeklaim tengah menangani kasus: mereka sudah memanggil korban dan pelaku, mengumpulkan alat bukti, dan menyusun kesimpulan serta rekomendasi kepada Wakil Rektor 1.

Rentetan peristiwa ini menandakan bahwa kekerasan seksual belum menjadi prioritas rektorat Unindra. Sudah semestinya, Unindra berbenah; memberikan edukasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kepada civitas akademik, termasuk dosen dan para pimpinan perguruan tinggi.

Di perguruan tinggi lain, sebut saja Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (UGM), kekerasan seksual sudah menjadi diskursus serius di kalangan civitas akademik. Satgas PPKS mereka berjalan sesuai fungsi; kelompok kajian gender tumbuh subur; edukasi pencegahan kekerasan seksual telah menjadi materi wajib pada orientasi mahasiswa baru.

Rektorat harus sadar bahwa kekerasan seksual bak bola salju yang terus membesar; yang pada gilirannya berdampak negatif terhadap universitas. Menutup-nutupi kasus bukan pilihan yang tepat; satu-satunya pilihan ialah menanganinya dengan baik.

Nama baik kampus bukanlah hal terpenting dipikirkan; keadilan korban dan ruang aman bagi civitas akademik menjadi yang utama. Ingatlah, publik sudah cerdas menilai bagaimana cara universitas menangani kasus kekerasan seksual. Ini zaman digital, segala arus informasi tak lagi bisa dibendung; bukan seperti zaman dimana Kementerian Penerangan bebas menyensor informasi.

 

Penulis: Achmad Rizki Muazam

Alumni Universitas Indraprasta PGRI, minat pada isu gender, pendidikan, politik, hukum, lingkungan, dan hak asasi manusia.

 

Editor: Arriel