Terima Kasih Covid, Karena Telah Menguji Kesetiaan Seseorang
Ilustrasi oleh LPM Progress
LPM Progress — Sebentar lagi, pandemi Covid-19 di Indonesia memasuki first anniversary sejak kemunculan kasus pertama yang hingga kini telah menyentuh angka lebih dari 1 juta kasus positif terkonfirmasi. Perubahan sosial berupa stigma negatif pada pasien Covid-19 yang dinyatakan telah negatif ataupun baru dinyatakan positif terus terjadi. Hal ini juga dialami seorang perempuan berusia 24 tahun bernama Nur Oktaviani yang berbagi pengalaman hidupnya ketika dinyatakan positif Covid-19.
Perkenalan dengan Okta diawali dengan mendengar kabar tentang dirinya yang mendapatkan stigma negatif dari orang terdekatnya. Okta membagikan pengalamannya di sosial media tentang dirinya yang putus dengan pacarnya karena ia dinyatakan positif Covid-19.
Okta mengetahui dirinya terpapar Covid-19 ketika sang ayah dinyatakan positif Covid-19. Saat itu, ia dan keluarganya langsung melakukan tes swab untuk memastikan siapa saja yang positif Covid-19 di keluarganya. Hasil tes tersebut keluar keesokan harinya dan menyatakan bahwa hanya Okta dan ayahnya saja yang positif Covid-19. Ketika mengetahui hasil uji swab, ia terkejut dan langsung merasa down.
Sebisa mungkin ia menutup informasi bahwa dirinya positif Covid-19 dari pihak luar, sampai akhirnya kabar tersebut menyebar dari salah satu teman yang dimintai tolong olehnya. Namun, tersebarnya informasi bahwa dirinya terkena Covid-19 bukanlah menjadi titik terendahnya, ia mengaku siap ketika hal itu terjadi karena ia pun sudah menghapus semua aplikasi sosial media yang terpasang di ponsel genggamnya.
"Karena waktu itu gue tuh sempat isolasinya di hotel ya, sebelum pindah di wisma (Depok). Itu cuma berhubungan sama teman dekat banget, minta bantuan buat kirimin barang ke hotel. Ketika pindah ke wisma gue benar-benar ngga mau berhubungan sama siapapun dan mood tuh benar-benar swing. Sempat hapus semua akun media sosial yang ada di ponsel, karena ngga mau ditanya. Karena waktu itu sempat minta tolong temanku dan ternyata dia sempat ngasih tahu ke yang lain juga dan speak up di akun sosial medianya dia,” jelas Okta.
Okta menceritakan sebenarnya ketika ia sakit, Okta merasa seperti layaknya orang sehat dan tidak terjadi gejala apapun, tetapi di dalam dirinya timbul perasaan seperti sedih sampai membuatnya ingin menangis, bahkan ketika senang ia merasa senang sekali dan itu terjadi tiba-tiba tanpa ada penyebab. Hingga Okta mengafirmasi ke dirinya sendiri, apakah benar dirinya memang sedang sakit atau tidak. Ia mencoba bertanya dan mencari tahu melalui Google dan apa yang dialaminya adalah bagian dari gejala Covid-19.
Belakangan ketika Okta sudah siap untuk melihat media sosial, banyak pesan bertumpuk menanyakan kondisinya. Dari banyaknya pesan yang masuk, beberapa diantaranya justru memberikan kesan yang tidak baik karena menganggap dirinya tidak bisa menjaga kesehatan dan kebersihan, serta selalu keluar untuk bepergian. Okta merasa tak habis pikir oleh teman-temannya di sosial media yang dengan mudahnya memberikan justifikasi tanpa tahu kondisi awalnya.
“Jadi ada 2 stigma yang aku alami dari teman dan dari pacar. Syukurnya teman-teman dekatku tuh paham kalau orang yang kena Covid itu ngga bisa ditanya-tanya gitu dan langsung memberi semangat. Tapi ada beberapa teman yang ngga terlalu dekat dan mereka sok tahu gitu. Kayak nanya kenapa kok bisa kena? Emang gak bisa jaga kebersihan? Emang abis darimana kok bisa kena Covid gitu?” terang Okta ketika ditanyai perihal stigma yang dialaminya.
Lanjutnya, Okta mengungkapkan bahwa ia sangat sedih ketika teman lainnya di media sosial mengatakan ‘dirinya jangan nyebar virus deh’ atau bahkan ‘kalau mau main tunggu sampai negatif dulu, ya’. Ia merasa tidak nyaman dan semakin sedih karena pernyataan tersebut seperti membuat dirinya diasingkan, padahal saat itu ia sudah dinyatakan negatif Covid-19.
Puncak dari stigma yang dialami Okta justru didapatkan dari pacarnya (yang kini sudah menjadi mantan). Ketika diberitahu olehnya, orang terdekatnya itu justru tidak memberikan respon apapun. Padahal malam sebelum diberitahukan hasil uji swab miliknya, ia dan pacarnya masih melakukan panggilan video dan bercanda seperti biasanya.
Pacarnya adalah orang yang pertama diberitahu setelah keluarganya, dan itu juga yang membuatnya sedih. Baru pada hari kedua saat diisolasi di hotel, Okta dihubungi oleh pacarnya tersebut melalui panggilan video. Respon yang diberikan justru diluar dugaan, pacarnya tetap tidak percaya bahwa Okta positif Covid-19. Bahkan saat diminta untuk menjemput saat kepulangannya nanti, pacarnya mengatakan tidak mau. Okta berpikiran bahwa pacarnya seperti jijik akan sesuatu (Covid-19).
“iya nih, aku lagi isolasi di hotel. Tapi ngga ada basa-basi kasih semangat atau khawatir gitu, lho. Dia malah bilang ‘gua ngga percaya kalau lu positif Covid, buktinya aja lu sehat-sehat aja’. Dia malah ngomong kayak gitu ke aku,” ungkapnya.
Baru setelah pindah ke wisma, Okta kembali mendapatkan panggilan video oleh pacarnya dan saat itu pun ia cuma dipesan untuk istirahat. Kemudian pada pagi harinya, pacarnya kembali melakukan panggilan video dan memberikan ucapan semangat yang ternyata menjadi panggilan video terakhir karena ketika Okta kembali menghubungi, pacarnya sudah tidak merespon dan menghilang. Padahal ketika ia chat ke WhatsApp, pacarnya sedang online, tetapi pesannya tidak dibalas sama sekali.
“Pokoknya aku nge-chat mulu kan, nanyain ‘kemana sih ngga ada kabar?’ aku juga sempat nanyain ‘kok kalau ngga aku chat dan telepon ngga ngasih kabar ya, kalau pun bales semaunya?’ terus dia malah balas chat gini ‘gue ngga nyuruh lu buat nge-chat gue terus, kok’ itu yang buat aku ngga habis pikir,” jelas Okta.
Hal itu lantas membuat Okta menjadi drop sejadi-jadinya sampai ia mengalami demam dan muntah-muntah yang membuat kondisinya harus dipantau dalam ruang observasi. Namun, Okta masih sempat memberitahu ke pacarnya bahwa ia masuk ruang observasi, meskipun tidak mendapat respon sedikitpun dari pacarnya tersebut. Semenjak kondisi tubuhnya yang semakin drop, Okta berhenti menghubungi pacarnya dan fokus ke pemulihannya. Perubahan sikap pacarnya itu terjadi hanya 4 hari berselang sejak diberitahukan pertama kali bahwa dirinya positif Covid-19.
“Sedih banget sih, hampir tiap malam gue nangis mulu. Tenaga kesehatan tahunya aku sedih, karena pada saat yang hampir bersamaan sepupuku wafat. Padahal itu sangat dekat sama gue. Tenaga kesehatan tempat gue dirawat tuh baru tahu setelah gue pulang terus buat Instastory gitu,” jelasnya ketika menggambarkan kesedihannya.
Intimidasi juga didapatkan Okta dan ia sempat membuat sebuah video untuk menjawab pertanyaan teman-temannya yang bertanya tentang kondisinya. Unggahan video pada Instagram TV tersebut lalu ramai dan beberapa orang menyuruhnya untuk berhenti menyebarkan informasi yang tidak benar serta mengatakan apa yang terjadi pada Okta saat itu adalah masuk angin biasa.
Okta mengaku sempat takut karena adanya intimidasi itu hingga setelah unggahan Instagram TV yang ia lakukan, dirinya tidak berani membuka Instagram dalam kurun waktu 3 hari. Video yang diunggah olehnya bahkan dihapus dari feed Instagramnya, karena ia merasa khawatir akan ada intimidasi secara langsung. Okta akhirnya memilih untuk tidak menghiraukan intimidasi tersebut dan menulis pada Instastory saat itu.
‘Terima kasih Covid telah menguji kesetiaan seseorang. Berkat adanya kamu, aku jadi tahu kesetiaan seseorang itu seperti apa’, unggahan ini dibuat ketika dirinya mengingat sikap pacarnya yang tiba-tiba menghilang dan tidak ada kontak hingga saat ini.
Perlakuan pacarnya saat itu benar-benar membuat Okta down dan selalu teringat dengan apa yang terjadi. Perihal hubungan di Instagram, dirinya di-unfollow oleh pacarnya tersebut. Beberapa kali ia mencoba konfirmasi tentang mengapa tiba-tiba menghilang juga tidak bisa dihubungi. Dirinya juga sudah menghubungi pacarnya melalu WhatsApp, telepon, dan bahkan email. Ia terkadang masih memikirkan perlakuan yang dilakukan pacarnya terhadapnya. Malam hari menjelang tidur, kadang ia masih saja kepikiran kenapa pacarnya bisa sampai setega itu meninggalkannya ketika kondisinya seperti itu.
Okta juga berpesan untuk berhenti menanyakan hal-hal yang membuat seseorang merasa bersalah karena terpapar Covid-19. Dirinya bahkan mengatakan bahwa untuk sebagian orang, itu merupakan suatu hal yang sensitif. Beberapa orang yang pernah terpapar Covid-19 bahkan juga sampai membuat pemberitahuan di sosial medianya untuk berhenti menanyakan hal-hal seperti ‘gejalanya seperti apa?’ dan ‘dirawatnya dimana?’. Itu akan mengingatkannya pada hal yang sebenarnya tidak diinginkan.
Mencoba simpati dan empati dengan memberikan semangat tanpa harus menanyakan sebabnya adalah cara terbaik menurut Okta. Banyak orang penasaran tentang apa yang dirinya dan orang-orang yang terpapar Covid-19 alami serta bagaimana prosesnya. Tapi sebenarnya itu juga sama menyakitkan dan membuatnya kembali down kalau mengingat itu.
Dari apa yang terjadi pada Okta dan pengalamannya, stigma negatif itu benar adanya dan bukan hanya sebuah momok yang diciptakan. Apa yang dialami Okta menjadi catatan penting untuk tidak terus menerus mengobjetifikasi pasien Covid-19 baik yang baru dinyatakan positif ataupun yang sudah dinyatakan negatif.
*Penelusuran tim progress atas pengalaman Okta dan nama yang digunakan sudah berdasarkan izin dari narasumber.
Penulis: Yazid Fahmi
Editor: Alinda Dwi Agustin