Terbentur Standar Maskulinitas, Fanboy: Enggak Usah Ngurusin Kegiatan Orang Lain
Sumber gambar: Pinterest.com
LPM Progress—Budaya Korea saat ini sedang berkembang pesat dan meluas di Indonesia bahkan di dunia. Fenomena ini dikenal dengan sebutan Korean wave, yaitu istilah yang identik dengan hiburan musik K-pop, drama Korea, dan variety show Korea. Melansir dari hai.grid.id, data Twitter yang diumumkan melalui akun @TwitterData pada tahun 2020 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga dari 20 negara yang menunjukkan antusiasmenya terhadap musik K-pop.
Karena kepopulerannya, banyak kalangan menyukai K-pop baik perempuan maupun laki-laki. tetapi sayangnya, fenomena ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Menjadi seorang fanboy atau penggemar K-pop laki-laki, lebih rentan disudutkan daripada penggemar perempuan. Mereka dianggap ‘abnormal’ karena laki-laki mengidolakan sesama gendernya.
Menurut survei yang dilakukan oleh IDN Times, dengan 580 orang koresponden, menemukan bahwa 92,1 % wanita penggemar K-Pop dan 7,9% adalah laki-laki penggemar K-Pop. Hal seperti ini selalu menempatkan perempuan lebih layak mengidolakan boyband dan sedikit wajar jika laki-laki mengidolakan girlband. Tetapi jika laki-laki mengidolakan band metal atau pemain sepak bola dianggap hal yang wajar. Padahal objek yang digemari sama-sama lelaki.
Perlakuan diskriminatif ini timbul karena adanya standar maskulinitas di masyarakat Indonesia. Umumnya, laki-laki akan dianggap maskulin jika terlihat kuat, penuh solidaritas, tidak cengeng dan lain-lain. Laki-laki akan dipandang aneh ketika mengidolakan seorang laki-laki yang dianggap tidak maskulin karena memakai make up atau pandai menari.
Baca juga: Memahami Toxic Masculinity Bagian Pengantar
Cowok kok suka K-Pop?
Kalimat itu sering terdengar oleh Rezi yang sudah lima tahun menjadi seorang fanboy. Ia pernah beberapa kali mendapat respons tidak enak ketika teman-temannya mengetahui bahwa dirinya adalah seorang fans K-pop.
“Ada yang terima, ada juga yang kegelian karena gua fanboy K-pop gitu. Kayak bilang 'Lu bisa berhenti gak, geli gua lihatnya, cowok kok gitu,'” kata Rezi melalui pesan WhatsApp (22/10).
Rezi merasa kebahagiaan dan kesukaan setiap orang berbeda-beda. Baginya, menjadi fans K-pop membuatnya merasa lebih senang dan menghargai diri sendiri. Ia merasa lebih bisa mengenal dan memahami dirinya sendiri sejak mengenal K-pop.
“Kalo gua gak peduli soal judge mereka, karena itu selera masing-masing dan gua suka K-pop tanpa ngerugiin dia sama sekali,” jelas Rezi (22/10).
Sama seperti Rezi, Bimo yang sudah menjadi seorang fanboy sejak 2018 tidak memperdulikan omongan orang sekitar yang mengatakan dirinya seperti banci karena menyukai K-pop. Ia menyebut bahwa orang seperti itu harus mengurusi dirinya sendiri terlebih dahulu.
“Urus diri sendiri dulu aja, enggak usah ngurusin hobi atau kegiatan yang disukai orang lain,” kata Bimo melalui pesan WhatsApp (22/10).
Menurut Bimo, menyukai suatu hal yang tidak disukai banyak orang bukanlah hal yang salah, selagi itu memberikan dampak positif. Ia tidak memperdulikan omongan negatif mengenai dirinya sebagai fanboy, karena Ia senang dengan hobinya dan mendapat banyak referensi gaya berbusana dari K-pop.
Terbentur standar maskulinitas tidak menjadikan Rezi dan Bimo berhenti menyukai idolanya, standar maskulinitas yang dibuat oleh masyarakat yang menganggap bahwa seorang laki-laki tidak boleh menyukai K-Pop.
Konsep maskulin yang keliru ini dinamakan toxic masculinity. Melansir dari sehatq.com, toxic masculinity adalah ketika seseorang menunjukkan perilaku kecenderungan untuk melebih-lebihkan standar maskulinitas pada seorang laki-laki. Menurut studi yang dimuat dalam Journal of School Psychology, konsep ini diartikan sebagai kumpulan sifat maskulin dalam masyarakat yang ditujukan untuk mendorong adanya dominasi, kekerasan, merendahkan perempuan hingga homophobia.
Mengutip dari jurnal Gambaran Citra Diri Fanboy K-Pop, terlepas dari pendapat negatif dari masyarakat, para penggemar K-Pop aktif menunjukkan citra diri sebagai penggemar dengan mengenakan pakaian logo atau nama idolanya. Dengan mengetahui fakta ini, tidak semestinya orang memberi cap atau menganggap seseorang sebelah mata hanya karena kesukaannya berbeda dengan kebanyakan orang.
“Kalau Bambang Pamungkas aja bisa disukai banyak cowok, kenapa idol K-pop gak bisa?” tambah Bimo.
Penulis: Mutiara Puspa Rani
Editor: Shalsa Bila Inez Putri