Tarik Ulur Permendikbudristek Tentang Kekerasan Seksual di Kampus, Rektor Unindra Janji Akan Menindaklanjuti
Sumber gambar: Tim Konten LPM Progress
LPM Progress – Rektor Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), Sumaryoto, menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti Permendikbudristek (Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (PPKS).
Dia juga berjanji akan mulai membahasnya pada bulan Januari 2022 dan menargetkan selesai di bulan September 2022. Namun, menurutnya, menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) bukanlah perkara mudah. Dia perlu merundingkan lebih dahulu dengan Wakil Rektor dan Divisi Hukum Unindra.
“Perlu saya rundingkan, perlu saya diskusikan dengan temen-temen lain (struktural), termasuk Divisi Hukum (Unindra),” ujar Sumaryoto ketika ditemui di kantornya, Jumat (27/11/2021).
Sebagai informasi, dalam Permendikbudristek setiap perguruan tinggi wajib menyusun SOP dan membentuk Satuan Tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Penyusunan SOP dan pembentukan Satgas adalah bagian dari implementasi Permendikbudristek oleh perguruan tinggi. Selain itu, Sumaryoto mengatakan bahwa penyusunan SOP dan pembentukan Satgas bukanlah prioritas rektorat saat ini. Sebab, kata dia, Unindra memiliki masalah lain yang harus diselesaikan dalam waktu dekat.
“Kalo sekarang belum, kita (Unindra) lagi banyak masalah yang harus diselesaikan,” tegasnya.
Sumaryoto menjelaskan bahwa dalam waktu dekat Unindra sedang menyiapkan aturan untuk mengatur tentang kuliah hybrid learning yang rencananya mulai dilaksanakan bulan September 2022.
Tak hanya itu, Permendikbudristek yang masih polemik mendapat penolakan dari sekelompok masyarakat menjadi faktor lain yang membuat Sumaryoto enggan menanggapinya dengan cepat.
“Inikan (Permendikbud) masih perdebatan antara pemerintah dengan masyarakat,” kata Sumaryoto.
Pasalnya, dalam Permendikbud itu terdapat klausul “tanpa persetujuan korban” yang menurut Sumaryoto multitafsir.
“Nah ini, kan bisa multitafsir. Kalo korban setuju bagaimana? suka sama suka apakah bukan pelecehan?” jelasnya.
Selama ini Unindra belum memiliki SOP yang secara khusus mengatur permasalahan kekerasan seksual di kampus. Menurut Sumaryoto, prosedur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Unindra sama dengan penanganan pelanggaran akademik. Mekanisme pengaduannya melalui dosen pembimbing akademik yang kemudian penentuan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual ditentukan oleh divisi hukum dan dewan etik Unindra.
Sejauh ini pun, Unindra hanya memiliki kode etik dosen, pegawai, dan mahasiswa yang mengatur kedisiplinan dan norma kesusilaan. Kode etik itulah yang menjadi acuan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Polemik Permendikbudristek
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim telah menerbitkan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Kampus pada 31 Agustus 2021.
Namun, kebijakan tersebut menuai polemik. Sebagian Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam menolaknya dan meminta Nadiem untuk merevisi atau mencabut Peraturan tersebut.
Muhammadiyah menilai Permendikbudristek tersebut mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan di kampus karena perbuatan asusila yang diatur tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika ‘suka sama suka’ atau pelaku mendapat persetujuan dari korban.
Melansir lawjustice, menurut Muhammad Sayuti Sekretaris Majelis Diktilitbang Muhammadiyah, Permendikbudristek ini dikhawatirkan memicu perilaku seks yang dilarang dalam ajaran agama Islam.
Muhammadiyah, kata dia, menolak penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” yang terdapat pada pasal 5 Permendikbudristek nomor 30 tersebut. Dia menilai frasa tersebut dikhawatirkan menjadi alasan seks bebas jika ada suka sama suka antar kedua belah pihak, seperti dikutip lawjustice, Kamis (2/12/2021).
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Nadiem Makarim mencabut Permendikbudristek tersebut. Keputusan itu berdasarkan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VII.
“Kami menyayangkan adanya Permendikbudristek PPKS itu. Kami meminta kepada pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi atau merevisi peraturan tersebut,” ujar Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan, dikutip dari tirto.id pada Kamis (2/12/2021).
Lebih lanjut, menurutnya, frasa “tanpa persetujuan korban” dalam peraturan tersebut bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundang-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
“Kami menilai peraturan ini kurang cermat, berarti kalo ada persetujuan korban boleh dong,” ungkapnya.
Meski demikian, tidak sedikit yang mendukung Peraturan Nadiem tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang terdiri dari 101 lembaga, kolektif, dan organisasi mendukung Permendikbudristek tersebut. Mereka menilai aturan ini sebagai langkah maju negara menghadirkan perlindungan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Menurutnya, Permendikbudristek ini merupakan langkah strategis yang menunjukkan komitmen negara dan perguruan tinggi dalam merespons banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus.
Namun, Naila Rizqi Zakiah perwakilan koalisi menyayangkan sikap penolakan dari organisasi keagamaan dan partai politik terhadap aturan yang dinilai penting untuk kepentingan korban.
Selain itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas juga sepakat dengan aturan yang dibuat Nadiem. Dia menilai kasus kekerasan seksual dapat menjadi penghalang terciptanya pendidikan nasional. Sebab itu, Yaqut telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbudristek itu di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).
“Kita tidak boleh menutup mata bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Dan kita tidak ingin ini berlangsung terus menerus,” kata Yaqut, dikutip dari tirto.id.
Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, mengatakan bahwa penolakan terhadap konsep konsen tanpa persetujuan korban yang termuat dalam Permendikbudristek tidak berdasar dan dapat menimbulkan bahaya.
Menurutnya, suatu perbuatan dapat disebut sebagai kekerasan seksual harus didasari dengan tidak adanya persetujuan.
“Konsep konsen ini diakomodir untuk menjamin perlindungan atas integritas tubuh manusia,” tegas Maidina, dikutip dari Rmol pada Sabtu, (4/12/2021).
Dia juga menjelaskan bahwa keputusan untuk melakukan atau tidak hubungan seksual adalah kemerdekaan setiap orang. Dengan demikian, kata dia, untuk terlibat dalam hubungan seksual setiap orang harus memberikan persetujuannya.
Sedangkan hubungan seksual dengan persetujuan, meski keduanya belum menikah, menurut Maidina merupakan hubungan seksual di ruang privat yang bukan urusan negara.
“Bukan peran negara mengatur hubungan seksual ketika terjadi di ranah privat dan tidak melanggar prinsip konsen atau persetujuan,” tegasnya.
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa moralitas di ranah publik tidak melulu bicara tentang norma hukum. Tetapi terdapat norma agama dan norma kesopanan yang masih berlaku di masyarakat.
Menurutnya, pelaksanaan norma tersebut tidak mesti ditegakkan oleh instrumen hukum positif Indonesia. Maidina pun mengungkapkan, menghilangkan konsep konsen dalam Permendikbudristek tersebut dapat menimbulkan malapetaka besar terhadap perlindungan individu yang dijamin oleh negara.
“Dengan penghilangan konsep konsen ini, semua korban yang terjebak dalam hubungan ‘tidak legal’ akan didefinisikan sebagai pelaku,” terangnya.
Dengan demikian, kata dia, korban akan dipersalahkan karena terlibat dalam hubungan di luar pernikahan, bukan aspek tanpa persetujuan yang digali.
Nadiem Makarim pun buka suara terkait polemik Permendikbudristek itu. Menurutnya, Permendikbudristek tidak mendukung apa pun yang tak sesuai dengan norma agama dan asusila.
“Satu hal yang perlu diluruskan juga. Mohon menyadari, bahwa Kemendikbud (pada Permendikbudristek PPKS) sama sekali tidak mendukung apa pun yang sama sekali tidak sesuai dengan norma agama dan tindakan asusila,” kata Nadiem, seperti dikutip dari tirto.id pada Sabtu, (4/12/2021).
Menurut Nadiem, Permendikbudristek tersebut spesifik hanya menyasar ke satu jenis kasus, yakni kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Urgensi Aturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menjadi faktor utama Mendikbudristek Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 tentang PPKS.
Menurut catatan Hope Helps Universitas Indonesia, pada kurun waktu Maret 2019 – Mei 2020 terdapat 47 kasus kekerasan seksual di kampus.
Sementara itu, tirto.id melalui liputan testimoni kekerasan seksual tahun 2019 menghubungi 174 responden pada 79 kampus di 29 kota. Hasilnya, sebanyak 129 responden menyatakan pernah dilecehkan, 30 orang lainnya pernah mengalami intimidasi bernuansa seksual, dan 13 responden sisanya menjadi korban pemerkosaan.
Lebih lanjut, tirto.id menjelaskan bahwa di antara para responden sedikit sekali yang melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada pihak kampus. Dari responden yang diwawancarai, hanya 29 orang yang melaporkan kasusnya.
Sebagian besar dari 174 responden merasa lebih baik diam. Tidak melakukan laporan kepada pihak kampus. Mereka bahkan enggan membicarakan kejadian yang dialaminya ke teman, keluarga, atau rekan terdekat atau pacar sekalipun dan memilih melupakan meskipun secara psikologis mereka terganggu dan mengalami trauma berkepanjangan.
Menurut Kemendikbudristek dalam naskah akademiknya salah satu faktor enggannya korban melaporkan kejadian yang menimpanya adalah ketiadaan aturan atau mekanisme yang handal, sehingga korban tidak tahu secara pasti apa yang harus dilakukan, kemana ia harus lapor, dan prosedur apa saja yang harus ditempuh.
Tak hanya itu, Kemendikbudristek dalam naskah akademiknya, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan seksual di kampus adalah ketiadaan aturan atau kebijakan yang jelas dan memadai untuk penanganan kasus. Seperti tidak adanya sanksi yang tegas kepada pelaku kekerasan seksual.
Menurut survei, hanya 19,74 persen responden yang menyatakan bahwa di perguruan tingginya terdapat aturan atau kebijakan yang tetap untuk penanganan kasus kekerasan seksual.
“Sebagian besar (80,26%) responden menyatakan perguruan tingginya tidak memiliki kebijakan atau aturan tetap untuk penanganan kasus kekerasan seksual,” tulis Kemendikbudristek dalam naskah akademik Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021.
Kemendikbudristek menjelaskan, dengan demikian tidak ada respons yang memadai terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di kampus. Ketiadaan aturan tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor, dan di satu sisi menyebabkan pelaku merasa aman karena tidak ada ancaman sanksi yang jelas.
Selain peraturan yang memadai, menurut Kemendikbudristek, perguruan tinggi harus menyediakan unit atau Lembaga satgas dengan sumber daya yang terlatih untuk menangani korban agar tidak mengalami perlakuan yang semakin merugikannya.
Apalagi berdasarkan penelusuran Progress, perguruan tinggi swasta jarang yang memiliki peraturan tetap untuk penanganan kekerasan seksual di kampus.
Setidaknya, baru Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan UIN yang sudah memiliki peraturan tetap di kampusnya.
Dengan alasan tersebut, banyaknya perguruan tinggi yang belum menyusun aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus, maka Kemendikbudristek menerbitkan peraturan Menteri di tingkat nasional.
“Peraturan Menteri tersebut sebagai pedoman atau peraturan yang dapat dijadikan landasan,” tegas Kemendikbudristek.
Penulis: Achmad Rizki Muazam
Reporter: Farhan Atha & Alamanda Firdaus
Editor: Puput Oktavianti