Polemik Omnibus Law di Indonesia
Sumber Gambar : id.gofreedownload.net
LPM Progress - Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law pada Senin (5/10). Keputusan tersebut mengundang penolakan dari berbagai elemen masyarakat, dimulai dari buruh, mahasiswa, hingga pelajar. Imbasnya, pada Kamis (8/10) aksi demonstrasi berakhir rusuh.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengungkapkan dalam pidato pada Sidang Paripurna MPR RI dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Periode 2019-2024 bahwa akan menyederhanakan regulasi dengan menerbitkan 2 UU besar yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Hanya saja, isi Omnibus Law yang terdiri dari 174 pasal ini dinilai merugikan oleh buruh atau pekerja.
Baca juga: Penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law di Istana Berujung Chaos
Sebelum mengetahui pasal-pasalnya, apa sih Omnibus Law?
Omnibus Law memiliki definisi yang beragam baik itu dari para ahli atau institusi lainnya, disini saya mendefinisikan kembali apa arti Omnibus Law berdasarkan beberapa sumber yang telah saya baca.j Omnibus Law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi atau Amandemen beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk UU baru. Hal ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan memangkas masalah dalam birokrasi, yang dinilai menghambat pelaksanaan dari kebijakan yang diperlukan.
Mengutip dari tirto.id, sebagian besar peraturan yang diubah dalam Omnibus Law ini banyak berbicara mengenai efesiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Tetapi UU ini justru tidak mengubah atau membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan kompetensi pekerja, tidak mengubah peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia.
Berikut beberapa pasal yang dinilai akan merugikan buruh atau pekerja adalah sebagai berikut :
1. Masuknya Pasal 88 B
Dalam pasal tersebut memiliki banyak penolakan dari berbagai pihak mulai dari buruh, pekerja hingga mahasiswa. Menurut Amnesty Internasional, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Maksudnya pengusaha memiliki kekuasaan dan kebebasan terhadap pekerja atau buruh memberikan upah yang tidak sesuai dengan upah minimum yang sudah ditentukan sebelumnya.
2. Pasal 77 ayat (3) dan pasal 79 ayat 2 bagian (b)
Alasan pasal ini ditolak adalah dikhawatirkan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasi atau imbalannya akan merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain. Pasal di dalamnya juga dapat memangkas hak libur pekerja yang sebelumnya mendapatkan hari libur sebanyak dua hari dalam seminggu yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Adapun pasal-pasal UU No. 13 tahun 2003 yang direvisi dan perubahannya dipermasalahkan dalam UU Cipta Kerja.
3. Pasal 161,154A ayat 3 dan pasal 89 yang diubah ke pasal 88C
Dalam pasal ini, buruh di-PHK karena melakukan suatu pelanggaran setelah diberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Namun, pada Omnibus Law tidak ditemukan tahap-tahap seperti di Pasal 161 UU No. 13 tahun 2003 tersebut (kecuali pasal 154A ayat 3 yang menyebut bahwa tata cara PHK diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah). Dan dalam pasal tersebut juga tidak ditemukan adanya upah minimum sektor baik untuk wilayah provinsi maupun kabupaten/kota.
4. Pasal 95 ayat 2,pasal 78 ayat 1, dan pasal 77 ayat 2 UU Cipta Kerja saat ini
Alasan mengapa dipermasalahkan, karena terdapat pemberlakuan denda bagi pengusaha yang telat membayar upah para buruhnya, baik karena lalai atau disengaja. Tetapi, pemberlakuan denda tersebut tidak ditemukan dalam UU Cipta Kerja. Pasal 95 ayat 2 telah berganti konteks menjadi pembayaran upah pekerja/buruh yang mesti didahulukan sebelum pembayaran kepada semua kreditur. Dan waktu lembur kerja paling banyak 3 jam, Namun hal ini waktu lembur mengalami penambahan menjadi 4 jam dalam sehari hal ini sangat dirugikan oleh para pekerja.
5. Pasal 79 ayat 2 ,pasal 61 No.13 tahun 2003 dengan Pasal 79 ayat 2,pasal 61 UU No 13 saat ini
Dalam pasal ini, waktu istirahat berkurang untuk para pekerja yang sebelumnya waktu istirahat sebanyak 2 hari dalam seminggu akan tetapi saat ini memberlakukan bahwa para pekerja memiliki waktu istirahat sebanyak 1 hari dalam seminggu. Dan dalam pasal ini juga terdapat empat alasan perjanjian berakhirnya bekerja, namun pada pasal yang berlaku saat ini adalah terdapat alasan tambahan perjanjian kerja berakhir, yaitu "selesainya suatu pekerjaan tertentu". Hal ini menimbulkan penolakan oleh para pekerja seolah olah perusahaan bebas untuk memutuskaan pekerjaan kepada para pekerja tanpa alasan tertentu.
Undang-undang pada dasarnya dapat diubah melalui Peraturan Pemerintah Perundang-undangan (Perppu). Dikutip dari perkataan Menkopolhukam, Mahfud MD, yang dilansir dari antaranews.com.
“Kalau lewat Perpu (Peraturan Pengganti Undang-undang) bahwa undang-undang diganti dengan Perpu sejak dulu bisa, sejak dulu sampai kapanpun bisa. Tapi isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) itu tidak bisa,"
Berikut Proses Pembuatan Perppu sebagai berikut :
1. Presiden memerintahkan penyusunan Perppu kepada menteri.
2. Menteri Sekretaris Negara melakukan penyiapan naskah Rancangan Perppu untuk ditetapkan oleh presiden sebagai Perppu.
3. Menteri Hukum dan HAM mengundangkan Perppu dengan menempatkannya dalam lembaran negara RI.
4. Menteri Hukum dan HAM menandatangani naskah Perppu dan menyampaikan naskah yang telah ditandatangani kepada Menteri Sekretaris Negara untuk disimpan sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Setelah Perppu disahkan oleh presiden, menteri yang ditugaskan menyusun RUU mengenai penetapan Perppu menjadi UU, kemudian disampaikan kepada DPR.
Melalui aturan baru yang sengaja dibuat untuk menggantikan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Sebuah aturan yang akhir-akhir ini marak dikaji dan diperbincangkan terkhusus aturan Omnibus Law tentang kemudahan investasi di Indonesia yaitu UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), UU Perpajakan, dan UU UMKM. Sebuah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, namun dianggap tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia bagaimana tidak dalam UU tersebut ada aturan yang menguntungkan pihak investor dan merugikan pihak pekerja atau buruh, yang bisa saja mengelola dan merampas hak milik rakyat Indonesia.
Dikutip dari laman tirto.id, dengan dilakukannya upaya tersebut menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain. Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja.
Selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja. Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan. Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Hal ini sangat merugikan para pekerja.
Jadi sangat jelas bahwasannya hadirnya UU tersebut sangat tidak sejalan dengan cita-cita perjuangan bangsa ini yaitu menyejahterakan rakyat Indonesia, oleh sebab itu dalam menyikapi persoalan aturan yang dikeluarkan pemerintah yang tidak pro untuk rakyat harus dikritisi dan dilawan bersama baik dari kalangan masyarakat dan intelektual kampus lainnya agar kedepannya dalam penyusunan aturan pemerintahan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Hal ini bertujuan agar apa yang dihasilkan diterima oleh semua kalangan. Karena pada dasarnya kita menganut sistem pemerintahan demokrasi dalam hal ini dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan demikian terkhusus kepada kalangan intelektual kampus, jangan pernah berhenti mengkaji dan mempertanyakan aturan-aturan yang dibuat oleh pemangku kekuasaan yang tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kita terlena dengan hadirnya beberapa isu nasional yang menggiring kita ke dalam subuah kenyamanan serta ketakutan sampai lupa akan fungsi dan tanggung jawab kita sebagai agen perubahan. Maka dengan ini mari terus rapatkan barisan perjuangan untuk melawan pemeritah yang zalim, karena sebagai anak bangsa harus bisa memperbaharui negara ini dengan lebih baik.
Penulis : Osep Saepudin
Editor : Nira Yuliana