Perjuangan Nelayan Pesisir Jakarta di Tengah Krisis Iklim
Sumber gambar: Dok/LPMProgress/Naila
LPM Progress – Pada tahun 2023 silam, fenomena heat wave atau gelombang cuaca panas melingkupi berbagai wilayah di seluruh dunia secara bersamaan. Heat wave merupakan kondisi ekstrem di mana cuaca panas meningkat dalam waktu yang lama. Hal ini dipengaruhi juga oleh fenomena El Nino yang menyebabkan suhu panas di beberapa belahan dunia mencapai 40°C bahkan lebih.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang dilintasi lintang khatulistiwa, sehingga tidak memungkinkan terkena dampak heat wave. Namun, Indonesia turut merasakan dampak perubahan iklim ekstrem sepanjang tahun 2023.
Dari dampak ini, di awal tahun 2024 nelayan-nelayan ikan di kawasan pesisir Muara Angke mengalami penurunan pendapatan. Salah satu nelayan yang mengalami dampak ini, yaitu Aji dan rekan-rekannya. Para nelayan ini menggantungkan penghasilan utamanya dari melaut setiap hari.
Setiap harinya saat matahari baru akan muncul, kapal-kapal nelayan sudah lebih dulu berangkat lepas ke laut untuk menangkap ikan. "Habis sholat subuh kita keluar, di laut kita operasi (persiapan), ya tinggal tunggu cuaca dan sikon. Kalau anginnya kencang ya kita langsung pulang, ikannya gak ada," ujar Aji saat diwawancarai di pesisir Muara Angke (08/02).
Namun, saat cuaca sedang bagus para nelayan ini bisa melaut dua kali dalam sehari dan mendapatkan penghasilan yang cukup bagi mereka. "Kalau lagi banyak, (bisa dapat) ton-an," tambah Aji.
Selain para nelayan di laut, para nelayan dan warga pesisir yang biasa bekerja di bagian pengolahan ikan juga merasakan dampak-dampak dari perubahan iklim ekstrem yang terjadi di sepanjang tahun 2023. Contohnya dalam mengolah ikan asin, para nelayan harus mengandalkan terik matahari untuk menjemur ikan-ikannya. Namun cuaca yang seringkali berubah membuat banyak nelayan akhirnya gagal memproduksi ikan asin.
Nelayan tangkap yang mengandalkan rumah ikan atau jebakan ikan pun turut merasakan dampak dari perubahan iklim ini yang mengakibatkan gelombang pasang surut air laut semakin parah, sehingga seringkali rumah-rumah tangkap ikan para nelayan rusak.
Muhammad Aminullah yang biasa dipanggil Anca merupakan seorang aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, menyebutkan bahwa profesi nelayan merupakan profesi yang sangat mengandalkan cuaca dan membutuhkan keahlian membaca cuaca. Namun, para nelayan di Jakarta Utara dan Pulau Seribu sudah mulai kesulitan memprediksi cuaca karena perubahan iklim yang ekstrem. Seringkali ketika nelayan sudah yakin untuk pergi melaut, cuaca di laut tiba-tiba berubah cukup ekstrem seperti munculnya badai sehingga terjadi banyak kasus kecelakaan nelayan.
Anca juga menjelaskan bahwa permasalahan dampak krisis iklim pada masyarakat pesisir berkaitan dengan kesalahan pembangunan oleh pemerintah. Menurutnya, Jakarta Utara seharusnya dilindungi karena memiliki kerawanan penurunan permukaan tanah dan akan terdampak pertama kali oleh krisis iklim. Namun, pembangunan tetap dilakukan, mangrove digusur, dan reklamasi baru-baru ini menambah masalah. Hal ini memperparah krisis iklim yang mengakibatkan penurunan permukaan tanah, banjir rob, bahkan di Tegal Alur air laut sudah lebih tinggi dari air sungai.
Anca menyarankan mengenai langkah yang bisa dilakukan oleh generasi muda untuk membantu meringankan dan mencegah dampak krisis iklim. Dengan menghemat listrik, menahan laju konsumsi, serta tidak membeli barang yang tidak benar-benar diperlukan. Hal itu dapat membantu mengurangi dampak krisis iklim.
"Semakin banyak barang yang kita beli, semakin banyak produksi yang dilakukan perusahaan," Ujar Anca saat diwawancarai melalui aplikasi Gmeet (23/06/23).
Wartawan: Larashati Crita, Rahma Akmalia, Naptalia, & Naila Hanin
Penulis: Naila Hanin
Editor: Naurah Shafiqah