Pemira Unindra: Pesta yang Tak diminati Oleh Para Tuannya
Sumber gambar: TAP PEMIRA 2024
LPM Progress – Pemilihan Umum Raya (Pemira) Universitas Indraprasta (Unindra) PGRI tahun ini telah berlangsung, agenda tahunan untuk pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Unindra (DPM-U), Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Unindra (BEM-U), dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) yang baru ini mulai dilaksanakan sejak 8 Agustus 2024. Namun, dalam penyelenggaraannya, agenda Pemira Unindra agaknya tak layak jika disebut sebagai ajang pesta demokrasi dalam lingkup kampus, masih terdapat beberapa masalah di dalam penyelenggaraannya, terutama terkait konsep netralitas.
Agenda Pemira ini juga memiliki susunan kepanitiaan dalam perjalanannya, agenda Pemira ini memiliki susunan kepanitiaan yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Dimas Aditya Nugroho, dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang diketuai oleh Surya Andika. Aturan dasar mengenai Pemira diatur dalam Ketetapan (TAP) Pemira Nomor 3 Tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Unindra, ketetapan ini mengatur pembahasan mengenai pembentukan KPU, Bawaslu, dan syarat ketentuan pencalonan DPM-U, BEM-U, BEM-F.
Logika Pemira Unindra Melihat Netralitas
Ketika melihat kampus, agaknya kita juga melihat negara dalam miniature yang lebih kecil. Kehadiran Eksekutif dalam bentuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Legislatif dalam bentuk Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) di Unindra adalah gambaran mengenai kehidupan politik di kampus. John Locke, penggagas konsep Trias Politica membagi bentuk kekuasaan menjadi 3 bagian, yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
Konsep dasar ini bertujuan agar masing-masing dari kekuasaan memiliki 'pengawasan' dalam menjalankan roda kekuasaan, hal ini juga diterapkan di Indonesia, dengan Presiden sebagai Eksekutif, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai Legislatif, terakhir Mahkamah Agung (MA), juga Mahkamah Konstitusi (MK), yang keduanya berperan sebagai Yudikatif.
Di Unindra sendiri terdapat Eksekutif dan Legislatif, namun tidak ada peran Yudikatif di dalamnya. Tidak salah bukan, jika melihat kampus sebagai miniature negara. Namun istimewanya, dalam Pemira Unindra peran BEM dan DPM cukup powerfull dalam keterlibatannya di Pemira, hal tersebut tercermin dari penetapan Ketua KPU dan Ketua Bawaslu yang dipilih langsung oleh BEM-U dan DPM-U, Ketua KPU yang merupakan anggota BEM-U ditunjuk oleh BEM-U dan Ketua Bawaslu yang merupakan anggota DPM-U juga ditunjuk oleh DPM-U itu sendiri, hal ini ditujukan dengan Surat Keputusan (SK) Ketua KPU oleh BEM-U serta SK Ketua Bawaslu oleh DPM-U, meski mekanisme penunjukan itu nantinya akan berbuah dengan pemberhentian sementara kedua anggota BEM-U dan DPM-U untuk menjadi Ketua KPU dan Ketua Bawaslu, namun dari prosedur tersebut saja sudah dapat dilihat bahwa terdapat miss persepsi terkait netralitas.
Tidak hanya itu, keterlibatan BEM-U dan DPM-U juga tidak hanya berhenti pada penetapan masing-masing ketua kepanitiaan Pemira. Kedua badan ini juga terlibat dalam keanggotaan serta koordinasi antara KPU dan Bawaslu. Hal ini tertuang pada Ketetapan (TAP) Pemira Nomor 3 tahun 2024 dijelaskan bahwa ketika ada situasi dan kondisi yang mendesak, hal ini dapat dikoordinasikan oleh KPU, Bawaslu, BEM-U, dan DPM-U, pertanggungjawaban KPU serta Bawaslu juga disandarkan kepada BEM-U, DPM-U, dan Wakil Rektor Bidang 1 Kemahasiswaan dengan teknis KPU bertanggung jawab kepada BEM-U dan Warek 1, lalu Bawaslu bertanggung jawab kepada DPM-U dan warek 1.
Intervensi Atau Hanya Persepsi?
Jika dilihat dari pembahasan sebelumnya terkait pembentukan, koordinasi, dan pertanggungjawaban KPU serta Bawaslu yang masih melibatkan BEM-U juga DPM-U, dikhawatirkan bahwa masih terdapat intervensi terhadap badan yang seharusnya dapat menjalankan kewenangan dan fungsinya secara independen. KPU dan Bawaslu sepenuhnya memegang kendali atas Pemira, peran KPU sebagai penyelenggaraan Pemira, dan Bawaslu sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan Pemira sejatinya harus berjalan beriringan dan saling berkoordinasi untuk kesuksesan Pemira.
Terlebih agenda pemungutan suara pada Pemira tahun ini dilaksanakan secara online. Hal ini membuat KPU dan Bawaslu harus lebih intensif, juga terorganisir dalam hal penyelenggaraan dan pengawasan. Pasalnya, Pemilihan Umum Raya merupakan hal yang sakral bagi keberlangsungan politik kampus, juga kepentingan mahasiswa umum. Ketika melihat permasalahan negara yang gagal dalam mengamankan sistem elektronik di lingkup nasional, juga dinamika pilpres yang dianggap curang, dan kerentanan lain dalam sistem digital agaknya hal-hal tersebut juga harus menjadi perhatian, terlebih ini hanya berada pada lingkup kampus bukan nasional. Hal ini patut diwaspadai dan diawasi bersama, agar persepsi hanyalah persepsi, bukan benar intervensi.
Ketika Pesta Tidak Diminati Para Tuannya
Sejauh ini, dinamika pada Pemira tahun ini juga dirasa hanya berada pada lingkup Organisasi Mahasiswa (Ormawa), Pemira yang seharusnya menjadi pesta demokrasi mahasiswa dalam memilih pemimpin lingkup Universitas dan Fakultas sepertinya tidak menyentuh kulit pembahasan mahasiswa umum. Terlihat ironi, sebab Pemira pun diadakan menggunakan dana mahasiswa umum. Seakan-akan, Pemira hanya agenda menggugurkan kewajiban tahunan, tanpa antusiasme dari mahasiswa umum.
Jika kita lihat dari beberapa waktu Pemira kebelakang, yakni Pemira tahun 2023 yang dilaksanakan secara langsung di Kampus A dan Kampus B Unindra. Pemira Unindra masih minim jika berbicara tentang antusiasme mahasiswa. Sosialisasi yang kurang, juga adanya kesalahan pendataan dimana terdapat mahasiswa yang dinyatakan telah menggunakan hak suaranya padahal ia belum sama sekali menggunakan haknya tersebut, membuat Pemira tahun lalu hanya terlihat sebagai agenda wajib yang harus dilaksanakan, tanpa diikuti dengan esensi-esensi pesta demokrasi.
Juga jika menilik tahun sebelumnya lagi, yakni Pemira pada tahun 2022 yang penyelenggaraan Pemira menggunakan sistem online, partisipasi mahasiswa umum juga tergolong rendah, hingga gagal memenuhi sistem aklamasi dengan minimal 10 persen aklamasi pada beberapa calon sat Pemira tahun 2022.
Baca juga: https://lpmprogress.com/post/minimnya-partisipasi-mahasiswa-pada-pemira-unindra
Bahkan, pada Pemira di tahun 2022 dilansir dari website LPM Progress yang berjudul 'Terdapat Paslon yang Menyalahi Aturan, Rangkaian Pemira Ditunda' dan 'Keterlibatan KPU dan Bawaslu Terhadap Pasangan Calon pada Pemira 2022' dinyatakan bahwa KPU dan Bawaslu terlibat pada kecurangan salah satu pasangan calon Pemira tahun 2022.
Rentetan masalah Pemira Unindra beberapa tahun kebelakang harusnya dijadikan refleksi, dan bahan evaluasi. Terlebih garis besar permasalahannya ialah minimnya partisipasi mahasiswa umum dalam Pemira, dan masih terdapat dugaan keterlibatan berbagai pihak dalam agenda ini. Lantas, apa layak jika Pemira Unindra disebut sebagai ajang pesta demokrasi lingkup kampus?
Penulis: Malaika
Editor: Naptalia