Organisasi Tercinta
Sumber Gambar : Ilustrasi Konten Kreatif LPM Progress
Peringatan: Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Mata belum juga mengantuk, pikiran pun masih berkelana tidak ada tujuan pasti. Suasana hati tidak kunjung membaik, bara api terus menggelora di sanubari meronta-ronta hingga melahirkan gelisah resah. Tubuh ini tidak mau juga diam, berbaring di atas tikar pandan pemberian ibu indekos. Menghadap ke kanan enggak nyaman, berbalik dengan posisi tengkurap rasanya tidak bisa bernapas, meringkuk ke arah kiri, membuat jantung tertindih tubuh yang menyebabkan sesak napas. Ahhh sial, malam ini benar-benar tidak bisa tidur meskipun waktu hampir subuh.
Di saat hati sedang gelisah dengan luapan emosi hingga mencapai ke ubun-ubun, tidak ada satu pun manusia yang menemaniku. Indekos sempit 4X4 meter dengan tikar pandan sebagai perabot rumah tangga satu-satunya, tanpa adanya kamar mandi. Tidak seperti pada malam sebelum-sebelumnya, ramai dengan manusia. Meski indekos ini terlihat kumuh dan tanpa perabot yang mewah, tetap ruangan ini menjadi tempat favorit bagi mereka yang ingin menghabiskan malamnya dengan bercengkerama bersama teman sekampung dan sesuku. Kepul dan bau mengisi ruang ini, akibat dari pembakaran rokok berbatang-batang.
Pikiran ini masih juga berkelana, hati masih mengucap sumpah serapah akibat kejadian kemarin. Bangsat bedebah dasar manusia tiada akal, percuma sekolah tinggi-tinggi tapi menghina organisasi orang, menghina suku orang lain. Apakah ia merasa sukunya lebih baik?, atau apakah ia menganggap organisasinya lebih baik?. Tidak sama sekali, bagaimanapun juga organisasi akulah yang paling baik di kampus ini!. Buktinya walaupun organisasiku secara resmi tidak diakui keberadaannya, namun nyatanya orang-orang merasa segan dan hormat. Belum juga bisa memberikan sumbangan kebanggaan bagi kampus tetapi kau malah menghina organisasi yang jelas-jelas telah menyumbangkan kebaikan untuk kampus. Manusia bedebah kau!, memang tidak bisa dimaafkan walau bagaimanapun juga.
Bagiku dan teman-teman lain, organisasi adalah suatu kehormatan yang perlu dipertahankan dengan bagaimanapun caranya walupun nyawa menjadi taruhannya. Tidak peduli siapa yang telah menginjak-injak organisasi ini, entah birokrat kampuskah, mahasiswakah, organisasi lain, masyarakatkah, atau pemerintah sekali pun. Aku sangat tidak senang bila organisasi tempatku mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan penghidupan dapat terhinakan oleh orang lain dengan tanpa alasan apapun. Bagaimana tidak, di organisasi ini diriku berkembang mengetahui dunia luar. Sejak awal merantau dari desa, aku tidak tahu akan kehidupan di luar dari desaku sendiri, yang kutahu hanyalah cara menangkap ikan di laut dan mengolah kopra untuk menghasilkan uang. Bahkan aku tidak pernah mendengar namanya organisasi selama di desa, kata yang asing bagi telinga.
Sejak awal menginjakkan kaki di kampus ini, aku sudah dikenalkan oleh senior tentang organisasi tercinta. Mulailah aku mengikuti proses pengkaderannya dengan hati penuh semangat tinggi untuk merubah nasib dan mengetahui dunia. Barulah ku mengetahui bahwa 116 tahun lampau ada dokter tua dari Jawa, yang bernama Dr. Wahidin Sudirohusodo telah berseru-seru akan pentingnya mendirikan organisasi bagi pribumi untuk melawan kolonial Belanda, kaum pribumi sudah tertinggal dari kaum singkek dan orang Arab yang sudah membentuk organisasi dan membuat sekolah-sekolah bagi kaumnya. Dua tahun berlalu, seruan itu diwujudkan oleh Tirto Adi Suryo dengan mendirikan organisasi pribumi pertama di Hindia Belanda, yakni ‘Sarekat Priyayi’. Meskipun organisasinya tidak bertahan lama dan digantikan berikutnya dengan berdirinya Boedi Oetomo, pada tahun 1908. Setidak-tidaknya, Bapak Pers Nasional Indonesia telah memulai perlawanan yang terorganisir bagi pribumi terhadap gubernemen. Betapa aku sangat begitu ketinggalan hingga 116 tahun lamanya, butuh waktu selama itu untukku mengenalnya. Maka, setelah mengenalnya tidak akan kusia-siakan walau seujung kuku pun untuk memanfaatkan dan menyayangi engkau ‘organisasi tercinta’. Tidak akan kubiarkan engkau disentuh oleh tangan-tangan jahat atau dihinakan oleh mulut-mulut usil.
Di organisasi ini aku belajar akan artinya solidaritas dengan sesama teman. Tidak boleh ku meninggalkan teman dalam keadaan suka maupun duka, apapun alasannya. Di organisasi pula aku diajarkannya berpikir kritis untuk menghadapi kehidupan yang penuh dengan tipu daya antar sesama, dan diajarkannya juga bagaimana menganalisis suatu masalah untuk menghasilkan solusi. Serta ku belajar bagaimana caranya mengorganisir mahasiswa atau masyarakat agar bersama-sama melawan ketidakadilan dan merubahnya menjadi keadaan yang jauh lebih baik. Di sini pula aku mengenal apa itu ‘Demokrasi’, sistem negara yang pada abad 20 ini diagung-agungkan sebagai yang terbaik bagi tiap negara di dunia oleh hampir seluruh umat manusia di muka bumi, karena salah satu wujud dari demokrasi adalah organisasi. Setiap orang bebas berkumpul dan berserikat dengan siapapun dan di manapun tanpa terkecuali.
Betapa banyaknya jasa engkau organisasiku tercinta, hingga diri ini yang tadinya hina dina tidak mengetahui apa-apa menjadi gilang-gemilang dan mampu menggerakkan ratusan orang bahkan ribuan untuk memprotes kebijakan pemerintah tempo lalu. Maka sebab itu tak berlebihan bila diri ini membela mati-matian engkau, menjaga harkat dan martabat organisasi sangatlah penting. Engkau tidak bisa dihinakan oleh siapapun juga selama darah ini masih mengalir dalam tubuh!. Selama jantung ini masih berdetak dan selama itu pula aku tidak akan tinggal diam, bila engkau terhina!. Rasanya dengan aku membela dan mempertahankan engkau ‘organisasi tercinta’ belum lagi cukup untuk membalas budimu. Terlalu banyak yang telah engkau berikan kepadaku dan teman-teman.
****
Sial aku masih juga merasa menyesal karena tidak bisa membunuh orang itu!. Kesempatan yang bagus namun sia-sia saja, diri ini tak mampu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Padahal kami telah mencarinya berhari-hari, dan memancingnya agar ia mau ketemu dengan salah satu temanku. Kami telah menyusun dan merencanakan semuanya dengan sebaik-baiknya agar orang itu mendapatkan pelajaran atas perbuatannya. Sayang beribu sayang, ia belum juga mati paling tidak pingsan di tempat jauh lebih baik dari pada ia kabur.
Ia telah kami jebak untuk bertemu di kantin kampus, segala cara sudah kami susun dengan baik. Temanku seorang wanita yang bertugas untuk mengatur janji dengannya, awalnya ia tidak mau bertemu karena merasa takut. Namun akhirnya ia diyakini oleh temanku agar tetap bertemu dan tidak akan terjadi apa-apa, sebab dengan alasan kami hanya ingin mengobrol dan minta klarifikasi atas apa yang telah ia lakukan. Sampai pada akhirnya ia mau juga bertemu dengan kami, malam hari menjadi waktu yang telah disepakati. Kami bergegas satu per satu memenuhi kantin yang sumpek, waktu itu untungnya hanya terdapat beberapa orang di kantin, jadi kami lebih leluasa menggunakannya.
Kami dengan rasa dendam di dada dan amarah yang telah sampai pada ke ubun-ubun menunggu-nunggu kehadirannya. Tak sempat lagi kepikiran memesan kopi ataupun minuman lain, untuk duduk pun enggan. Aku mondar-mandir ke sana kemari, memperhatikan tiap pengujung kantin satu persatu. Sambil menghembuskan asap rokok dengan penuh ketegangan. Dalam hati bergumam: mati kau dasar manusia tak punya akal, penghina organisasiku!. Ini akan menjadi hari terakhirmu melihat cerahnya matahari dipagi hari!. Esok kau tak akan bisa lagi melihat tingginya gedung-gedung kampus ini!, paling tidak kakimu tidak akan bisa melangkah lagi menuntut ilmu. Tangan ini sudah siap mencengkram mulutnya yang kurang ajar itu. Biarlah tangan dan kakiku sendiri yang menghabisi manusia bedebah ini, walaupun yang lain juga sudah siap menghajarnya. Bara rokok ini akan menyulut bibirmu hingga tak bisa bicara lagi tentang kejelekan organisasiku. Gelas-gelas kaca yang berjejer di atas meja akan menimpah kepala dan mukamu. Percuma kau punya otak namun tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sia-sia saja kau memiliki muka bila muka kau seperti tembok, dasar tak tahu malu!, tak sabar rasanya.
Ini dia si bangsat akhirnya ia datang juga. Kuperhatikan ia dari ujung rambut hingga ujung sepatu, kuingat-ingat mukanya yang seperti tembok itu. Ia duduk di depan hadapan teman wanitaku, sambil memesan minum. Adapun sebelumnya aba-aba telah dipersiapkan. Temanku dari sisi kanan memberi aba-aba, ia teriak 1,2,3 dan serentak kami yang tadinya menyebar di sudut kantin mendekati orang muka tembok itu. Tak butuh waktu lama kepalan tangan ini melayang ke mukanya, kakiku mendarat tepat pada perutnya. Ia menunduk melindungi kepala dan mukanya dari hantamanku.
Ah sial baru juga beberapa menit , belum juga aku puas memukulinya. Ia kabur lari tebirit-birit keluar dari kantin. Aku tak sempat mengejarnya, teman yang lain mencoba mengejarnya, namun ia keburu lari ke pos satpam dan berlindung di balik ketiak satpam kampus. Semua ini gara-gara dua orang sok yang menjadi pahlawan kesiangan, sial memang. Ia kabur dengan bantuan dua orang yang sejak tadi berada di kantin, dua pahlawan kesiangan itu melerai dan mencoba melindungi si muka tembok dari hantaman kami. Satu orang memisahkan dan memegangiku agar tidak memukul si muka tembok, dan yang lainnya menarik manusia tak berakal itu untuk menjauh dari kerumunan serta menyuruhnya pergi.
Setan memang dua orang pahlawan kesiangan ini, akibat perbuatannya itu si muka tembok tidak jadi mati dihadapanku. Kalau saja aku tidak mengenal dengan dua orang itu sudah kuhabisi mereka, karena turut terlibat melindungi penjahat penghina organisasiku!. Sayang, aku tak sampai enak hati untuk memukulinya karena pun aku segan dengan dua orang ini. Ia seniorku, meskipun bukan satu organisasi namun ia juga salah satu orang yang membuatku mengenal dunia. Aku hanya bisa menyumpahinya di dalam hati, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia telah melepaskan binatang yang selama ini menjadi buruanku!. Seumur hidup akan kuingat tingkah lakunya itu.
Oh ampunilah aku wahai ‘organisasi tercinta’. Diri ini merasa hina karena tak mampu membinasakan manusia muka tembok, si penghina organisasi tercinta. Meski sudah kuhantam mukanya namun belum juga puas dan sebanding dengan balas budi atas jasa-jasa engkau padaku. Aku berjanji: akanku cari ke manapun meski ke ujung dunia dan akanku temuinya walaupun ke ujung samudra. Aku pun tak akan membiarkanmu dihinakan lagi oleh siapapun juga.
Tidak terasa azan subuh terdengar dari musala yang persis di samping indekos. Suaranya menusuk hati dan memecah kesunyian pagi yang mengiringi matahari terbit, suasana hati mendadak berubah. Pikiranku tertuju pada musala itu, entah malaikat baik apa merasukiku sehingga membawa kaki ini melangkah menuju rumah tuhan yang maha besar nan agung.
*Akan ada serial selanjutnya dari cerita ini, dari sudut pandang si pahlawan kesiangan. Nantikan ya!.
Penulis : Achmad Rizki Muazam
Editor : Irfan Zidni