Obituari: Selamat Jalan Imigran Surga
Sumber gambar: Ilustrasi oleh Konten LPM Progress
LPM Progress —Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Gema takbir masih terngiang-ngiang dalam benak, saat kau pergi meninggalkan kami. Di awal bulan Syawal yang suci, di mana manusia saling memaafkan dan kembali fitrah. Kau pergi dengan kefitrahan itu.
Kabar kematian itu datang dari Kampung Rambutan—rumah duka. Sabtu malam (15/5), grup WhatsApp saya dibanjiri ucapan duka atas kepergianmu. Mendengar kabar kau telah pergi, saya terdiam. Merenung. Apakah harus bersedih? Saya tidak boleh bersedih—atas kepergianmu—buat apa bersedih? Toh, kau pergi untuk menghadap Sang Pencipta. Bukankah itu tujuan akhir dari manusia? Kembali ke kampung halaman yang abadi. Seperti kata Tuhan, "Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali," (Al-Baqarah 2:156).
Mohammad Syahrul Safutra bin Syafrizal Caniago, saya mengenalnya tiga tahu lalu. Ia masuk ke Progress (organisasi pers mahasiswa) dengan dua sahabatnya. Entah sejak kapan mereka bersahabat. Yang saya tahu, mereka sekelas dan kemanapun selalu bersama. Tujuan dia berorganisasi tidak muluk-muluk. Ia hanya membawa visi mencari pengalaman—tentunya sambil berusaha menebar kebaikan.
Sejak saya mengenalnya hingga terakhir bertemu (tahun lalu), tak sekalipun senyum tidak menghiasi wajahnya. Ia sosok yang murah senyum dan irit bicara. Guyonan yang kerap saya lontarkan kepadanya tidak jarang dibalas hanya dengan senyuman. Dengan sesekali meladeni guyonan saya. Kau juga manusia yang ringan tangan. Suka membantu teman. Bila sedang nongkrong, kau rela kenyamananmu terusik demi kenyamanan bersama. Sedikit orang yang sepertimu—mau ke warung untuk beli rokok dan kopi—yang dikonsumsi bersama. Kebanyakan orang, bila sedang nongkrong malas untuk ke warung.
Di tahun ini, idealnya kau bergelar sarjana. Namun, kau tidak tergiur dengan titel dunia. Justru lebih memilih gelar akhirat yang diberikan oleh Penciptamu. Tak apa kau tidak dapat gelar sarjana, setidaknya kau telah belajar ilmu kehidupan tentang bagaimana caranya bergaul dan memanusiakan manusia. Setidaknya, ada hal berharga yang pernah kau lakukan daripada gelar sarjana, yaitu arti dari sebuah persahabatan. Kau mengajarkan kami bagaimana caranya menjaga hubungan pertemanan hingga ajal menjemput.
Saya bersaksi, kau adalah orang baik yang selalu menebar kebaikan. Kebaikan sekecil apa pun, akan selalu diingat oleh teman-teman.
Kini, tidak ada lagi sosok yang murah senyum. Tidak ada lagi orang yang rela kenyamanannya terganggu. Sosok pendiam dan sederhana itu telah pergi menghadap Ilahi.
Hanya orang pilihan yang disayang Tuhan, yang menghadapnya begitu cepat. Di usiamu yang ke-22 tahun, Tuhan memanggilmu kembali ke pangkuannya.
"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu: bahagialah mereka yang mati muda," kata Soe Hok Gie. Seperti kata Gie—bahagialah mereka yang mati muda—kau pergi dengan kebahagiaan itu. Sebab, kau tidak lagi menyaksikan kemunafikan yang dipertontonkan di negeri ini. Kau juga tidak perlu melihat kehancuran bumi akibat ulah manusia serakah.
Kematian adalah cara terbaik Tuhan untuk menghindarkanmu dari belenggu surga duniawi yang fana.
Kau memang benar-benar imigran dari surga yang menebar kebaikan. Saya yakin, kau tidak meninggalkan kami untuk selamanya. Hanya saja, tugasmu di dunia sudah selesai dan mesti kembali ke kampung halamanmu.
Tiada kata yang bisa terucap, selain Al-Fatihah—untuk mengantar kepergiamu. Semoga dengannya, memperlancar jalanmu menuju kampung halaman.
Selamat jalan, imigran surga. Titip salam buat Bowo—yang lebih dulu pergi dua tahun lalu—dan untuk semua orang yang mati muda. Berbahagialah di sana, kami merindumu. Tunggu kami akan menyusul—cepat atau lambat.
Penulis : Achmad Rizki Muazam
Editor : Nadya Noordyanti