Nilai "E" Palsu (Part 2)
Sumber gambar: pixabay.com/id/illustrations
Aku melaporkan hal ini kepada Dosen Pembimbing Akademik. Beliau berkata bahwa dia tidak memiliki wewenang untuk menghubungi Bu Cathy dan nilaiku tidak bisa diubah karena masa perkuliahan telah habis. Jadi, mau tidak mau aku harus mengulang di semester berikutnya.
Sempat pula ada niat ingin bertanya ke Bu Cathy, namun kuurungkan karena sikapnya yang apatis.
Akhirnya, aku melaporkan kejadian ini kepada Kepala Program Studi, Pak Yadi. Kujelaskan secara detail terkait masalahku kepada beliau.
“Jadi, kamu mendapat nilai E bukan karena kesalahanmu?” tanya Pak Yadi.
“Iya, Pak. Itu salah Bu Cathy yang tidak menggubris pesan dari saya,” ujarku.
Pak Yadi terdiam sejenak.
“Menurut analisis saya, kamu juga salah karena baru mengonfirmasi dua hari setelah mengerjakan tugas. Seharusnya, kamu lebih disiplin untuk urusan perkuliahan. Di sisi lain, saya juga bingung kenapa dosen tersebut tidak membalas pesan kamu padahal konfirmasi itu kamu lakukan beberapa jam sebelum batas waktu. Seharusnya, dosen tersebut menunjukan etika yang baik, termasuk terhadap mahasiswanya,” kata beliau.
“Nah, itu dia, Pak. Jadi, apa yang mesti saya lakukan?” tanyaku.
“Masalah kamu akan saya urus. Jadi, kamu hanya perlu menunggu hingga seminggu kemudian,” jawab Pak Yadi.
“Baik, Pak. Saya tunggu kabar selanjutnya. Terima kasih atas bantuan bapak,” balasku.
“Sama-sama,” jawab beliau.
Satu hari setelah melapor kepada Kaprodi, aku tak menduga bahwa masalah yang kualami menjadi viral di kampus. Aku tak tahu siapa yang telah menyebarkannya. Karena viralnya masalahku, aku mendapat banyak dukungan dari mahasiswa lain, terutama dari teman-teman sekelasku.
“Sudah, lawan saja dosen seperti itu!”
“Semangat, Reza! Kita pasti bisa lulus bareng!”
“Lawan dosen otoriter!"
Itulah beberapa dari banyaknya dukungan yang kudapatkan dari pesan singkat. Semua dukungan tersebut hanya kubalas dengan ucapan terima kasih dan ditambah dengan emoji tersenyum.
Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya aku mendapat telepon dari Pak Yadi.
“Kamu harus datang ke kantor saya besok pukul 10.00,” ujar beliau.
"Siap, Pak.”
Aku datang ke kantor Kaprodi dengan pakaian terbaik. Tak disangka, ketika sampai di kampus, aku disambut bak superstar oleh para mahasiswa lain. Bahkan, adapula yang memberikanku bunga sebagai bentuk dukungan.
“Permisi, selamat pagi,” ucapku sembari mengetuk pintu ruang kerja Kaprodi.
“Silakan masuk,” ujar Pak Yadi.
Tak disangka, selain Bu Cathy, Rektor pun hadir di dalam ruang Kaprodi. Tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Kujelaskan semua hal terkait permasalahanku kepada Kaprodi dan Rektor. Namun, Bu Cathy membantah perkataanku dengan emosi.
“Hei, aku memberimu nilai E karena kamu tidak becus kuliah! Harusnya kamu bisa atur waktu!” ujar Bu Cathy dengan begitu marahnya.
“Justru ibu yang tidak becus sebagai dosen! Kenapa saat saya kirimkan pesan singkat, ibu tidak membalas? Itu sama saja tidak menghargai saya!” balasku.
“Oh, iya? Saya kecewa karena kamu telat mengumpulkan tugas. Pesan kamu baru sampai pukul 12.00. Makanya, pesan kamu tidak saya balas,” ujarnya sembari menunjukan bukti pesan singkat di ponselnya.
Supaya masalahku selesai, kuperhatikan jam di dalam ponsel Bu Cathy dengan seksama lalu membandingkannya dengan jam di dalam ponsel milikku dan milik Kaprodi.
"Bu, jam itu keliru! Seharusnya, pesanku sudah terkirim pukul 10.00 dan itu benar!” ujarku.
“Hei, akulah yang benar! Ponselku merupakan keluaran terbaru, jadi tidak mungkin salah waktunya,”balas Bu Cathy.
Tiba-tiba, Pak Yadi memotong percakapan.
“Sebentar, kamu yang benar? Kalau memang kamu yang benar, seberapa jauh kamu menerapkan setiap etika dan norma yang berlaku? Kalau kamu belum atau sedikit menerapkannya, maka kamu belum benar,” ujar Pak Yadi kepada Bu Cathy.
Kali ini, Bu Cathy langsung tertunduk lesu. Menurutku, dia merasa terpojok karena sudah mendapat teguran dari atasannya.
“Berdasarkan keterangan dari kedua belah pihak, saya putuskan bahwa Reza tidak bersalah dan berhak mendapatkan haknya untuk lulus tepat waktu. Sementara itu, Bu Cathy selaku dosen mata kuliah Fisika Dasar bersalah dan mendapatkan sanksi berupa pencutian selama satu bulan dan pemotongan gaji,” ujar sang Rektor.
Usai keputusan tersebut, hatiku merasa senang. Impianku untuk mendapatkan gelar akan terwujud. Tentunya, kemenangan ini tak akan kulupakan seumur hidupku.
Penulis: Alfat Eprizal Tanjung
Editor : Eka Pramudita