Memperlakukan Boneka Arwah Berlebihan, Psikolog: Tidak Adaptif
Sumber gambar: Doc/LPM Progress/Amalya Sangita
LPM Progress – Beberapa pekan belakangan ini, publik dikejutkan fenomena mengadopsi sebuah boneka yang disebut dengan spirit doll atau boneka arwah. Perlu diketahui bahwa boneka arwah bukanlah boneka biasa pada umumnya. Pasalnya bentuk dari boneka ini serupa dengan bayi manusia serta diperlakukan layaknya seorang bayi sungguhan, seperti diberi makan, dipakaikan pakaian yang cantik, sampai menggunakan jasa pengasuh anak dengan bayaran yang cukup fantastis untuk merawat boneka tersebut.
Kemunculan boneka arwah diketahui pada tahun 2021 lalu di salah satu platform musik video, beberapa pencipta konten memperlihatkan boneka arwah yang mereka miliki serta cara mereka merawatnya. Hal ini membuat kontroversi di tengah masyarakat setelah banyak publik figur juga ikut mempublikasikan boneka arwah yang mereka miliki, hingga perilaku mereka terhadap boneka tersebut menjadi sorotan karena dianggap tidak wajar.
“Baik atau tidaknya tergantung dari kacamatanya. Kalau orang itu punya boneka dengan tujuan hanya dipakai untuk kesenangan, buat teman ngobrol, itu oke saja, asalkan orang itu bisa membedakan fungsi realita, misalnya tidak terganggu persepsinya,“ ujar Sulastry Pardede selaku psikolog saat diwawancarai (14/03).
Saat ditanyakan mengenai keadaan psikis pemilik boneka arwah, ia mengatakan bahwa tidak dapat mendiagnosa normal atau tidaknya kondisi kejiwaan atau perilaku pemilik boneka arwah tersebut, karena perlu adanya pemeriksaan secara langsung terhadap yang bersangkutan. Namun menurutnya, perilaku tersebut tidak sesuai dengan kondisi usia.
Ia juga menambahkan, jika perilaku ini dilakukan oleh anak-anak mungkin terlihat normal apabila boneka diajak berbicara dan diperlakukan layaknya teman seperti yang dilakukan oleh pemilik boneka arwah. Namun, jika usia dewasa melakukan perilaku ini untuk mengatasi stres atau mengatasi kesepian, maka menjadi kurang adaptif, karena dalam jangka panjang dapat menghabiskan waktu, dana, hingga terjadi gangguan persepsi.
Dalam hal tersebut Sulastry pun menjelaskan, jika dilihat dari tahapan perkembangan usia dewasa biasanya sudah memiliki anak, menikah, atau memiliki pasangan. Jika proses perkembangan ini dipindah alihkan dengan menyalurkannya pada sebuah benda, berarti orang tersebut ingin mengatasi kesepian atas sesuatu yang belum ia miliki pada tahapan perkembangan dewasa. Namun, juga bisa karena pada tahap perkembangan masa anak-anak mereka kurang berkembang. Fenomena ini tidak dapat dinormalisasikan karena dapat menjadi masalah dalam perkembangan seseorang terutama pemilik boneka arwah.
"Seharusnya ketika kesepian, stres, kita bisa melakukannya dengan cara adaptif, misalnya dengan cara mencari dukungan dari teman, sharing kepada orang lain sehingga kita dikuatkan. atau mencari pertolongan ke tenaga profesional, kita didampingi. Atau mengikuti suatu komunitas. Tapi kalau pada akhirnya punya sesuatu yang tidak tepat, misalnya dengan memiliki boneka cukup banyak akhirnya bisa spend money to much, maka menjadi tidak sesuai atau tidak adaptif," ujar Sulastry Pardede.
Saat ditanya mengenai sisi positif dari fenomena ini, Sulastry menjelaskan bahwa terlepas dari pandangan negatif publik, memiliki boneka arwah dapat melepaskan isi hati pemiliknya untuk menghilangkan stres. Asalkan dalam hal ini, pemilik boneka masih memiliki persepsi yang positif dan tidak memperlakukan boneka itu seperti benda hidup. Karena dalam dunia psikologi sendiri, boneka dapat digunakan sebagai salah satu terapi, yakni terapi dimensia.
Sulastry menyarankan, ketika perlakuan terhadap boneka arwah cenderung berlebihan atau tidak normatif, maka kita dapat melakukan pendekatan dan memberikan pengertian dengan mengajak untuk melakukan konseling, serta berusaha membantu memenuhi kebutuhan yang tidak dimiliki pemilik boneka atau menjadi pendukungnya.
Penulis: Amalya Sangita
Editor: Dwi Kangjeng