
Masih Lemah, Satgas PPKS Perlu Penguatan
Sumber gambar: Markom LPM Progress
Layaknya bayi, setelah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilahirkan. Ia perlu diperkuat, dirawat, dan dijaga.
Tiga tahun sudah berlalu semenjak Kemendikbud Ristek mengeluarkan Peraturan Menteri (Permendikbud) No. 30 tahun 2021. Permendikbud ini muncul sebab banyaknya kasus Kekerasan Seksual (KS) yang terjadi, terutama di perguruan tinggi.
Sebelumnya, terdapat kasus Agni di Universitas Gadjah mada (UGM) yang diberitakan oleh Balairung Press. Kasus ini menghebohkan jagat pendidikan tinggi lantaran pihak kampus malah menyalahkan Balairung Press karena telah ‘mengekspos’ keburukan kampus. Lalu terdapat kasus dosen cabul di Universitas Diponegoro (UNDIP). Ia melakukan pelecehan seksual kepada empat mahasiswinya dengan cara menggenggam tangan, mencubit pipi, merangkul pinggang, meraba, menyentuh payudara, hingga berusaha mencium. Kelakuan ini rupanya sudah ia lakukan sejak tiga tahun lalu.
Dua kasus di atas hanyalah sejumput dari ribuan kasus lainnya. Menurut survei Komnas Perempuan, terdapat 67 kasus KS di kampus sepanjang tahun 2020. Perhitungan ini belum pula ditambah dengan kasus-kasus lain yang sebenarnya ada tapi tidak viral. Sebagaimana dipahami bahwa fenomena KS bagaikan gunung es di Kutub Utara, apa yang terlihat di permukaan hanyalah bagian kecil dari keseluruhan bongkahan di bawah air.
Dengan semangat untuk menghapuskan KS dari kampus, Kemendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri mengenai Pencegahan Dan Penanganan KS Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dari peraturan ini, Kemendikbud memerintahkan seluruh kampus untuk membuat Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan KS (Satgas PPKS). Harapannya Satgas PPKS dapat menjadi garda depan dalam misi penghapusan KS di lingkup pendidikan tinggi.
Karenanya, pembentukan Satgas ini haruslah disegerakan. Setelah Permendikbud No. 30 dikeluarkan, kampus-kampus mulai berpacu membuat panitia pembentukan Satgas PPKS. Dosen-dosen dengan pemahaman gender yang baik direkrut, beberapa kampus juga mengundang mahasiswa untuk bergabung. Setelah perekrutan, diadakan sesi wawancara untuk mengukur perspektif dan komitmen.
Setelah Satgas PPKS jadi, tugas pertama mereka adalah sosialisasi, lalu membuat buklet sebagai petunjuk bagi civitas academica memahami Satgas PPKS, terakhir membuat riset mengenai angka KS di pendidikan tinggi. Setelah semua selesai tinggal menunggu laporan tindakan KS.
Kurang Pengawasan dan Lemah
Setelah Permendikbud dikeluarkan, nampaknya sampai sejauh ini, misi menghapuskan KS di kampus belum mencapai kemajuan apapun. Masih banyak kampus belum membuat Satgas PPKS meskipun sudah diperintahkan. Ada juga kampus yang membuat Satgas PPKS tapi tidak berjalan efektif. Ketidakefektifan ini ditunjukkan dari banyaknya kasus KS yang sudah dilaporkan namun tak kunjung menemukan titik terang atau diselesaikan secara “kekeluargaan” yang tentunya keputusan ini sangat mencurigakan.
Bahkan di Universitas Indonesia (UI) Satgas PPKS-nya mengundurkan diri lantaran beban administratif yang memberatkan mereka melakukan kerja-kerja substansialnya yaitu memberantas KS. Ditambah minimnya biaya membuat Satgas PPKS UI tak mampu bertahan.
Carut-marutnya Satgas PPKS seharusnya dapat diperhatikan oleh Kemendikbud. Fenomena-fenomena di atas dapat menjadi sampel untuk menganalisa dan mempertanyakan, mengapa kekacauan ini dapat terjadi?
Sebelum Kemendikbud melakukannya, izinkan penulis menguraikan sedikit dari akar permasalahan Satgas PPKS ini. Kekacauan Satgas PPKS terjadi pertama-tama karena tidak adanya pengawasan ketat dari Kemendikbud. Setelah Satgas PPKS berdiri di sebuah kampus, Kemendikbud tidak melakukan pengawasan rutin misalkan setahun setelah Satgas PPKS itu berdiri apakah sudah melakukan kerja-kerjanya dengan maksimal atau tidak.
Akar permasalahan selanjutnya terletak pada prinsip dasar pembentukan Satgas PPKS. Satuan tugas ini sebenarnya sangat lemah di dalam kampus. Secara peraturan, Satgas PPKS hanya memiliki wewenang mengajukan rekomendasi, tapi ia tak bisa mengeksekusi. Ini terlihat dalam Permendikbud No. 30 tahun 2021 pasal 13 ayat 2 dimana penjatuhan sanksi hanya bisa dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi melalui rekomendasi Satgas.
Satgas PPKS hanya dijadikan sebagai lumbung pelaporan kasus, tapi ia tak dapat beraksi memberikan sanksi apapun karena hak itu jatuh ke tangan rektor. Sedangkan Rektor sendiri lebih memilih tidak menjatuhkan sanksi demi menjaga nama baik kampus. Tentu ini merupakan kesalahan fatal.
Sanksi merupakan tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan. Ia sebagai proses pembatasan tindakan yang bertujuan untuk mengajak, memberi teladan, membimbing, atau memaksa setiap anggota masyarakat agar tunduk pada norma-norma sosial yang berlaku.
Untuk menuju tatanan sosial baru, dalam situasi di mana KS tidak ada, maka perlu adanya suatu teguran atau hukuman berbentuk sanksi sebagai kontrol tindakan sosial masyarakat. Bila fungsi ini tidak berjalan, menghapuskan KS dari kampus hanyalah isapan jempol semata.
Lalu terakhir lemahnya Satgas PPKS di hadapan birokrasi. Sering kali kasus KS sulit diproses karena terhalang birokrasi kampus, apalagi jika pelaku merupakan orang penting seperti dosen, pejabat kampus, pemilik yayasan, atau rektor itu sendiri. Di depan orang-orang penting ini Satgas PPKS tak memiliki kuasa apabila terlapor tidak kooperatif.
Relasi kuasa antara Satgas dan birokrasi kampus menjadi penghalang besar dalam penanganan kasus KS. Ditambah dengan pasal 13 ayat 2 semakin melegitimasi kuatnya birokrasi kampus. Sejauh ini belum ada mekanisme yang memperkuat Satgas menghadapi relasi kuasa ini.
Memperkuat Satgas
Carut-marutnya Satgas PPKS memantik sebuah pertanyaan di dalam kepala, apakah pembentukan Satgas PPKS ini hanya sekadar formalitas? Lantaran Kemendikbud terkesan hanya menyuruh-nyuruh saja. Ia tak mengetahui bahwa Satuan Tugas ini masih memiliki banyak kelemahan dan perlu bantuan.
Hal pertama yang dapat Kemendikbud lakukan adalah mengubah sifat Satgas PPKS. Dari yang tadinya hanya sekedar mengajukan rekomendasi jadi memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi. Dengan ini Satgas dapat melakukan tugasnya tanpa tanpa terhalang kepentingan rektor menjaga nama baik kampus.
Selain itu Kemendikbud perlu memperkuat Satuan Tugas dengan merumuskan aturan yang dapat mempercepat proses penanganan KS. Seperti memberikan wewenang kepada Satgas PPKS untuk memberikan sanksi apabila terlapor tidak memenuhi panggilan dalam kurun waktu tertentu.
Di sisi lain peran mahasiswa tak kalah penting, terutama dalam ranah penyadaran. Mahasiswa dapat meramaikan kampanye anti KS atau menyebarkan pemahaman tentang ruang aman di kampus.
Dengan skema memperkuat kuasa Satgas PPKS dibantu dengan partisipasi mahasiswa semoga dapat menghapus KS dari dunia pendidikan tinggi.
Penulis: Riyasy Asbabur Didaktika
Editor: Naptalia