International Women's Day : Menuntut Hak dan Supremasi Hukum bagi Perempuan

International Women's Day : Menuntut Hak dan Supremasi Hukum bagi Perempuan

Sumber gambar: Dok/LPMProgress/Isnawati

 

 

LPM Progress - Jumat (8/3), telah dilaksanakan aksi Hari Perempuan Internasional dari depan gedung Sarinah dan berhenti di depan Monumen Nasional. Aksi ini dihadiri oleh Perempuan Mahardhika, Jala Pekerja Rumah Tangga (PRT), Konde.co, Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Koalisi Perempuan Indonesia, Institut Sarinah dan organisasi perempuan lainnya. Peringatan Hari Perempuan Internasional ini juga sebagai tonggak perjuangan perempuan di dunia untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan dan diskriminasi berbasis gender.

Tuntutan aksi yang dibawakan ialah tegakkan demokrasi dan supremasi hukum, wujudkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan melindungi perempuan, tuntaskan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu dan saat ini secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan serta pemulihan hak-hak korban. Aksi ini terjadi karena mundurnya demokrasi terutama saat pemilu dan banyaknya aturan-aturan hukum yang justru dilecehkan untuk melambungkan kekuasaan. Selain itu, banyak hal-hal yang harus diperjuangkan dan akan terus berlanjut hingga dapat memenuhi hak-hak sebagai perempuan.

Kontribusi perempuan saat ini masih cukup jauh dari apa yang diharapkan terutama pada Pemilu 2024. Mayoritas partai politik tidak memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan. Menurut Zuma, salah satu anggota Koalisi Perempuan Indonesia 2024 mengatakan bahwa seharusnya kontribusi perempuan saat ini sangat besar walau terlihat sebagai alat politik untuk mengagungkan kekuasaan.

"Perempuan hanya dijadikan sebagai alat politik untuk mengagungkan kekuasaan," ucap Zuma saat diwawancarai di depan Monumen Nasional (Monas).

Selain itu, Sumarsih, keluarga korban tragedi Semanggi 1 juga menyatakan bahwa kontribusi perempuan sekarang ini sudah lama dimulai bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Perempuan sudah berorganisasi untuk turut serta menentukan masa depan bangsa dan negara. Dari tahun ke tahun perempuan berkontribusi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, yang mau mendengarkan suara rakyatnya. 

Namun, perempuan saat ini tidak hanya memperjuangkan hak-haknya saja seperti cuti hamil, haid, sakit, melahirkan serta upah murah bahkan lembur yang tidak dibayarkan dan hak-hak normatif yang meluruh karena status kerja fleksibel, tetapi perempuan juga harus memperjuangkan situasi negara saat ini karena demokrasi yang mengalami kemunduran bahkan dirusak oleh penguasa. 

"Beban perempuan semakin berat selain memperjuangkan hak-hak perempuan tetapi juga harus memperjuangkan situasi negara karena demokrasi saat ini telah dirusak oleh penguasa," ujar Sumarsih saat diwawancarai di depan Monas.

Aksi ini ditutup dengan simbolik yang bertema Suara Perempuan, Suara Penentu dengan mencetak tangan menggunakan pewarna merah di atas baliho. Hal tersebut sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintah dan bermaksud untuk memberhentikan kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan terhadap perempuan.

 

 

Wartawan: Rahma Alawiyah & Isnawati

Penulis: Rahma Alawiyah

Editor: Fitriani Rachmawati