Fasisme dalam Kampus itu Nyata
LPM Progress - Dari kemarin banyak perbincangan publik tentang ditangguhkannya wawancara langsung dengan rektor. Sebagian dari perbincangan publik itu dibuat dengan akun palsu yang tidak kami ketahui, dengan maksud menggiring opini ke ranah birokrasi organisasi mahasiswa. Mungkin ini akan menjadi sedikit klarifikasi kami kepada kawan-kawan mahasiswa Unindra tentang penggiringan opini, mengenai birokrasi organisasi mahasiswa.
Pertama, perlu diketahui bahwa kami memang organisasi mahasiswa dan hal itu tidak akan dapat dipungkiri. Akan tetapi, dalam kerja-kerjanya kami selalu membedakan dan memberikan ruang pada kerja organisasi dan kerja jurnalistik. Permasalahan-permasalahan organisasional yang berada dalam lingkup organisasi mahasiswa, tak pernah mengintervensi segala keputusan ruang redaksi. Begitupun sebaliknya, keputusan ruang redaksi terkait apa yang diberitakan dan akan diliput memiliki independensinya sendiri tanpa adanya campur tangan kepentingan-kepentingan lain. Sehingga apa yang terjadi dalam ranah organisasional terkait dengan sengketa sikap pernyataan LPM Progress yang berdampak pada kerja dan karya jurnalistik, merupakan tindakan menghalang-halangi kerja jurnalistik dan kebebasan pers.
Kedua, terkait perihal koordinasi dengan pihak BEM Universitas, LPM Progress tidak pernah melakukannya dalam hal keputusan ruang redaksi. Jelas kegiatan wawancara langsung dengan rektor adalah keputusan ruang redaksi dalam menanggapi perihal perkembangan yang terjadi dalam kampus. LPM Progress baru akan berkoordinasi jika itu terkait dengan kegiatan-kegiatan eventual seperti seminar, perayaan, ataupun yang melibatkan mahasiswa umum. Tapi dalam memutuskan kerja dan karya jurnalistik, maka itu merupakan proses dan dinamika yang terjadi dalam ruang redaksi dan tidak seorang pun dapat mencampuri bahkan mengintervensi dalam perumusan dan pemutusannya. Oleh sebab itu, tidak perlu bagi LPM Progress berkoordinasi kepada siapapun untuk melakukan peliputan.
Dalam beberapa pertemuan, LPM Progress selalu disinggung terkait ‘bukanlah jurnalis profesional serta tidak berprofesi sebagai jurnalis’. Memang betul, tidak salah dan tidak akan kami sanggah. Akan tetapi tidak ada larangan bagi seseorang untuk melakukan kerja jurnalistik, sebagaimana sejarah pers mahasiswa yang hadir sebagai media alternatif dan perjuangan bagi pemuda dan pelajar sejak zaman kolonial. Baik BEM U dan pihak rektorat menyinggung kami bukan jurnalis profesional, maka pernahkah mendengar tentang citizen journalism (Jurnalisme Warga). Jika pada akhirnya hal ini tetap dipermasalahkan ada baiknya mari kita gugat kebebasan pers atau kebebasan akademik dalam ruang lingkup pendidikan.
Terakhir, perihal soal independen. Perlu diketahui bahwa tidak ada organisasi yang independen dalam hal pendanaan termasuk perusahaan media. Jika kalian menyoalkan independen adalah soal keuangan dan dana. Dalam dunia ekonomi (silakan untuk pendidikan ekonomi dikoreksi) capital adalah sesuatu yang penting. Akan tetapi, dalam ranah jurnalisme, independen bukan hanya menyoal keuangan dan dana. Dalam jurnalistik yang dibahas adalah independensi. Independensi adalah ide bahwa karya jurnalistik atau seorang jurnalis harus bebas dari campur tangan siapa pun dalam peliputannya. Sehingga cukuplah bagi LPM Progress menjelaskan tentang ini, karena pendidikan tentang jurnalistik dasar bisa diberikan oleh dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, daripada kami nanti disebut meniru-niru sebagai dosen. Terima kasih.
*Seharusnya rektorat bangga terhadap anak didiknya yang sudah mampu kritis, berpikir ilmiah, radikal, demokratis dan memiliki sikap toleransi. Bukan justru membatasi lalu merasa terancam. Karena itu artinya mereka berhasil mendidik, daripada kebanyakan dari mereka yang diam dan menggunakan apa yang dimiliki hanya untuk uang.
Penulis : Yazid Fahmi
Editor : Winda