Diskriminasi Sosial Melalui Standar Kecantikan

Diskriminasi Sosial Melalui Standar Kecantikan

Sumber gambar: Dok/LPM Progress/SherinaMaya

 

LPM Progress – Beauty standard atau standar kecantikan ialah tolok ukur seseorang yang dinilai memiliki kelebihan yang hampir sempurna. Anindya Restuviani, seorang Direktur Program Jakarta Feminist berpendapat, beauty standard adalah syarat atau karakteristik, biasanya disesuaikan dengan gender, seperti pria atau wanita cantik dinilai dari standar tertentu. Hal itu akhirnya membentuk ekspektasi kita mengenai wanita perlu memenuhi standar untuk bisa dikatakan cantik. Dengan adanya ekspektasi masyarakat terhadap standar kecantikan inilah timbul diskriminasi standar kecantikan. Diskriminasi standar kecantikan merupakan perilaku yang membeda-bedakan seseorang hanya karena tidak memenuhi standar kecantikan masyakarat.

Lantas, Bagaimana standar kecantikan itu tercipta?

Anindya Restuviani menuturkan, terciptanya standar kecantikan lantaran terdapat banyak faktor, diantaranya kapitalisme, seperti produk kecantikan yang mengiklankan bahwa wanita itu harus seperti ini (putih, tinggi, dan langsing), maka terbentuklah standar kecantikan bahwa wanita cantik itu seperti yang diiklankan. Faktor kedua yaitu male gaze, bagaimana lelaki memandang wanita yang menarik. Contoh yang berkaitan erat antara kapitalisme dan male gaze yaitu Victoria Secret. VS ini mengkampanyekan wanita “sempurna” (berambut panjang, putih, tinggi, dan langsing), sehingga orang-orang melihat wanita sempurna adalah wanita yang seperti dikampanyekan. Fakta dimana pemilik VS ini adalah laki-laki, membuat image wanita sempurna secara tidak langsung dibuat oleh laki-laki. Yang ketiga adalah kolonialisme, dimana dulu kita pernah dijajah oleh bangsa kulit putih dan mereka menanamkan pikiran bahwa kulit putih lebih superior dibanding kulit gelap.

“Saya pernah didiskriminasi waktu SMP-SMA karena kulit saya tidak sesuai sama standar kecantikan masyarakat, kan standar kecantikan masyarakat kaya tinggi, putih gitu,” ujar Tri Andini sebagai salah satu korban standar kecantikan, ketika diwawancarai (18/01).

Tidak hanya yang berkulit gelap saja yang terkena diskriminasi karena standar kecantikan. Permasalahan bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan standar di masyarakat juga kerap kali didiskriminasikan. Hal ini dialami oleh Salwa Sania, ia mengungkapkan dirinya pernah memiliki badan yang obesitas. Suatu waktu dia mendapat tugas kelompok, saat itu ia tak mendapatkan tumpangan karena temannya berkata bahwa badannya seperti karung beras.

Namun, walaupun pernah didiskriminasi bahkan terbilang sering, Tri Andini dan Salwa Sania mengaku tidak trauma, meski ketika hal itu terjadi memang menyakitkan hati.

Tri Andini dan Salwa Sania mengungkapkan, kebanyakan orang memiliki mindset cantik itu harus putih, langsing, tinggi, dan semacamnya. Maka saat melihat orang yang sedikit berbeda, seperti warna kulit yang gelap pasti muncul pemikiran bahwa orang tersebut tidak memenuhi standar kecantikan, sehingga munculah perilaku diskriminasi.

“Misalkan aku melihat, oh ini beauty standard yang aku udah punya. Dan ada orang yang sedikit berbeda, misalnya teman-teman dari Papua yang warna kulitnya jauh lebih gelap daripada aku, otomatis pasti merasa bahwa, lu tuh gak cakep dalam tanda kutip, lu ga sesuai dengan beauty standard, jadi lu harusnya gak kaya gitu," kata Anindya Restuviani (19/01).

Anindya Restuviani juga menambahkan, faktor lain penyebab adanya diskriminasi ini adalah insecurity. Dimana kita merasa tidak sempurna, akhirnya memproyeksikan insecurity itu dengan menjatuhkan orang lain. Dengan menganggap kalau diri sendiri tidak sempurna berarti tidak ada orang yang lebih sempurna daripada diri sendiri.

Diskriminasi memiliki banyak bentuknya. Mulai dari mengucilkan, membeda-bedakan, dan sebagainya. Perilaku diskriminasi juga bisa berupa melontarkan ujaran kebencian. Dilansir dari adl.org terdapat piramida kebencian, di mana yang paling bawah adalah prejudice attitudes seperti stereotyping dan fear of difference. Di level kedua ada acts of prejudice seperti bullying, name calling, dan biased jokes. Kemudian di level ketiga adalah discrimination. Di level selanjutnya ada violence seperti murder, rape, dan assault. Level terakhir, level paling atas adalah genocide.

Lebih lanjut, Anindya Restuviani menambahkan mengenai piramida kebencian. Paling bawah ada mindset, dimana mindset tersebut bisa berbentuk diskriminasi ras, yang artinya berprasangka terhadap orang-orang dengan ciri khas tertentu. Sementara piramida kedua biasanya adalah bentuk-bentuk yang dianggap cuma, 'cuma verbal doang'. Jika terus dibiarkan, pelaku diskriminasi akan berpikir bahwa ini bukan apa-apa.

"Contohnya ada prejudice kalau orang Papua pasti suka mabok, mencuri, akhirnya prejudice itu menjadi lead to action, membuat masyarakat mendriskriminasi, tidak mau menerima orang papua ngekos di kosannya,” Ujar Anindya Restuviani.

 

Reporter           : Muftihah Rahmah

Penulis             : Sherina Maya

Editor               : Dwi Kangjeng