Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa, Bagaimana Masa Depan Kebebasan Akademik dan Pers?
Sumber gambar: kronologi.id
LPM Progress – Webinar Bincang Advokasi Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa yang diadakan melalui platfrom Zoom Meeting diselenggarakan bertujuan untuk berdiskusi mengenai kebebasan akademik dalam kekerasan pers mahasiswa yang terjadi di kalangan mahasiswa media.
Seringkali terdengar kasus-kasus dari Pers Mahasiswa (Persma) dikarenakan memberitakan informasi-informasi yang terlalu sensitif atau bahkan hal lainnya yang mengakibatkan kerusakan, pemukulan atau bahkan ancaman dari pihak kampus. Seperti kasus ancaman oleh pihak kampus untuk pembekuan Persma Poros di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, karena mengkritik pembangunan fakultas kedokteran di kampus tersebut. Kemudian Persma IAIN Ambon yang mendapatkan pemukulan yang diduga akibat mengungkap kekerasan seksual dan mengakibatkan Persma ini dibekukan oleh Rektor. Lalu dua awak Persma di UGM yang menulis tentang kekerasan seksual di kampusnya, mengakibatkan dua awak Persma tersebut dilaporkan.
“Pers Mahasiswa itu bagian penting yang sampai hari ini memang belum mendapatkan porsi perlindungan. Baik dari institusi Dewan Pers karena keterbatasan undang-undang maupun dari sisi kebijakan yang ada di kampus. Sementara berbagai bentuk kekerasan terjadi kepada pers media,” ungkap Ninik Rahayu dari Dewan Pers dalam webinar bertajuk “Bagaimana Masa Depan Kebebasan Akademik dan Pers?” (21/7).
Dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers Nasional, yaitu mengatur tentang apa fungsi dan peran dari pada pers. Salah satu hal yang penting bahwa pers menjadi pilar demokrasi dan oleh karenanya mengapa peran pers sangat penting, karena pers pada sebuah demokrasi memiliki 3 tujuan utama, yaitu mengungkapkan fakta-fakta, mencari kebenaran dan memberikan informasi, dan pendidikan kepada publik. Ninik Rahayu juga menyampaikan bahwa sengketa pers adalah sengketa mediasi bukan sengketa kriminal, oleh karena itu perlu juga membangun kesepahaman dengan aparat penegak hukum agar kedepannya para menyidik menolak dan diteruskan kepada Dewan Pers sebagai instusi yang memang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers.
“Di Pers Mahasiswa sekarang penuh dengan tantangan. Tantangan yang tidak hanya di kampus tetapi juga terdapat di luar kampus. Karena isu Pers Mahasiswa tidak hanya sekitar kampus tetapi isu yang stuktural di luar kampus atau isu regional di wilayah masing-masing yang juga turut diberitakan oleh Pers Mahasiswa,” pungkas Adil Al Hasan dari PPMI Nasional.
Banyak pers mahasiswa mengalami trauma ketika mereka kembali menulis berita, sehingga potensi-potensi mereka untuk mengembangkan jurnalisme terhambat dikarenakan trauma. Menurut Adil Al Hasan, ketika tidak ada yang membantu Persma, pihak kampus merasa bahwa Persma itu hanyalah main-main saja dan hanya melakukan liputan-liputan biasa. Sehingga hak Persma untuk mendapatkan informasi dan data-data akan dipersulit karena tidak adanya pengakuan. Maka setelah itu Persma akan mengalami pembekuan, penyensoran, pembubaran bahkan kriminalisasi dan hal lainnya yang menyulitkan bagi pers mahasiswa.
Menurutnya terdapat 58 kasus yang mungkin dapat bertambah sewaktu-waktu dikarenakan tidak semua kasus Pers Mahasiswa di advokasi. Dengan alasan ketakutan, ancaman pembunuhan, pemukulan bahkan sampai ancaman Drop Out (DO). Hal ini didukung oleh pernyataan Sasmito Madrim dari Aji Indonesia, “Perlindungan bagi Pers Mahasiswa masih dibilang kurang karena terdapat anggapan bahwa jurnalis mahasiswa ini masih belajar atau bisa dibilang kurang profesional, regulasi pers belum cukup melindungi Pers Mahasiswa yang regulasinya masih kurang yang akhirnya menganggap bukan jurnalis yang professional.”
Ada tiga hal yang direkomendasikan oleh Ninik Rahayu dan Aldi Al Hasan yang harus segera dilakukan, yaitu: Dewan Pers membuat pernyataan terbuka atau Political Statement tentang Pers Mahasiswa, melakukan MoU dengan Kemendikbud-Ristek atau Ditjen Pendis, dan revisi Undang-undang Pers.
“Seringkali Pers Mahasiswa mengalami hal-hal yang tidak terduga baik itu secara fisik dan psikis bahkan secara virtual. Terdapat serangan-serangan yang tidak kasat mata dan hal itu tidak pernah tertuliskan. Contohnya kasus awak Lintas, hal ini merupakan salah satu keprihatinan, tapi dengan adanya kasus-kasus ini kita sebagai Pers Mahasiswa harus melawan. Dengan perlawan ini bisa menunjukkan bahwa apa yang dilakukan bukan sesuatu yang salah tetapi mengungkapkan sesuatu yang benar,” ungkap Dhia Al Uyun dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Penulis : Naptalia
Editor : Mutiara Puspa Rani