Konferensi Pers Perempuan Indonesia Menuntut Pemerintah Hentikan  Eksploitasi Buruh Perempuan, Rakyat dan Sumber Daya Alam

Konferensi Pers Perempuan Indonesia Menuntut Pemerintah Hentikan Eksploitasi Buruh Perempuan, Rakyat dan Sumber Daya Alam

Sumber Gambar : Dok/PerempuanMahardhika

 

 

LPM Progress - Senin (29/4), Undangan Konferensi Pers mengenai aksi perempuan Indonesia yang menuntut pemerintah untuk memberhentikan eksploitasi sumber daya alam, buruh, perempuan dan rakyat, menaikkan upah, mengurangi jam kerja, mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), melawan kekerasan dan pelecehan, serta diskriminasi. Kegiatan ini diselenggarakan melalui platform Zoom Meeting pada pukul 13.00 WIB sampai pukul 14.30 WIB diikuti oleh Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Perempuan Mahardhika, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Arus Pelangi, Migrant CARE, dan lainnya dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2024.

Hari Buruh Sedunia atau yang sering disebut May Day, menjadi momentum penting untuk perjuangan hak-hak buruh di seluruh dunia. Di Indonesia, Aliansi Perempuan Indonesia akan melakukan aksi di depan Gedung Bawaslu untuk menuntut perubahan pada kondisi kerja yang masih jauh dari kata layak.

Dalam situasi ekonomi global yang krisis, eksploitasi tenaga kerja menjadi masalah serius. Para pekerja terutama perempuan, dipaksa bekerja dengan jam kerja panjang tanpa upah yang layak. Di sektor garmen dan perikanan, kondisi kerja yang berat dan diskriminatif masih sangat menghantui. Tak hanya eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi sumber daya alam juga menjadi sorotan. Meskipun pemerintah menggembar-gemborkan prestasi ekonomi, eksploitasi sumber daya alam justru meningkatkan kekerasan terhadap rakyat dan perempuan.

Menurut Jumisih selaku Ketua Umum FSBPI menyatakan, bahwa kondisi buruh perempuan saat ini sangat tidak aman, tidak sehat, dan tidak selamat. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh ketidakpastian dalam hubungan kerja, yang membuat buruh perempuan sulit untuk bergabung dengan serikat buruh.  

"Keterbatasan waktu menyebabkan sulitnya akses terhadap jaminan sosial dan upah yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka," ujar Jumisih.

Selain itu, Trisna selaku perwakilan dari Migrant CARE mengungkapkan bahwa kondisi pekerja migran terutama perempuan masih jauh dari revolusi negara. Menurutnya, sumbangan pada perekonomian hanya diutarakan dalam angka tanpa jaminan sosial hukum maupun kebijakan yang memadai. 

"Dalam temuan kami yang lain pada kurun waktu 2020 sampai 2023 terdapat ratusan orang muda di bawah 30 tahun yang terjebak dalam modus baru perdagangan orang berupa online scamming maupun judi online parahnya lagi akhir-akhir ini Universitas menjadi penyalur tenaga kerja, bahkan secara tidak langsung mengalami perbudakan modern yang justru dilegalkan sendiri oleh institusi pendidikan," ungkap Trisna.

Oleh karena itu, Trisna berkomitmen dengan turut bergabung dalam satu barisan solidaritas untuk mencapai kemenangan yang dicita-citakan para pekerja migran sedunia.

Tidak hanya perempuan saja, transpuan di Indonesia masih sangat terbatas dalam mengakses pekerjaan dikarenakan adanya stigma dan diskriminasi dari pemilik perusahaan. Keresahan ini disampaikan oleh Echa Waode, sekretaris dari Arus Pelangi.

"Pada akhirnya, kawan-kawan transpuan hanya bisa bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) ataupun di salon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari," resahnya.

Menurut Echa, banyak transpuan yang memiliki kemampuan. Sayangnya, terdapat keterbatasan untuk pekerjaan terutama di sektor formal dan banyak perusahaan yang belum inklusif dalam menerima keberagaman identitas gender. Echa pun berharap, negara menyediakan wadah ruang kerja yang aman dan nyaman agar tidak semakin banyak orang yang dimiskinkan secara struktur karena kebijakan yang diskriminatif dan aturan kerja, serta tidak dapat menikmati haknya sebagai bagian dari warga negara Indonesia. 

Dede, dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) juga memberikan pernyataan jika banyak yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai beban bukan sebagai aset, akibatnya mereka masih banyak ditolak atau tidak diterima di dunia kerja, salah satu persoalannya adalah persyaratan sehat jasmani dan rohani oleh pemerintah maupun juga oleh pihak swasta dalam merekrut tenaga kerja.

Dede juga menyatakan bahwa adanya aturan Omnibus Law di mana jika tenaga kerja mengalami kecelakaan kerja dan menjadi disabilitas setelah bekerja selama 1 tahun, perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurutnya, kebijakan ini sangat diskriminatif, tidak mengakui keberagaman, dan tidak memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk bekerja.

Selanjutnya, mereka juga menentang berbagai bentuk kekerasan serta diskriminasi berbasis gender dan disabilitas di tempat kerja. Data menunjukkan, tingginya angka kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan ragam gender minoritas lainnya.

Dalam menyikapi situasi ini, berbagai organisasi perempuan dan masyarakat sipil bersatu dalam aksi long march yang akan dilaksanakan pada 1 Mei 2024. Mereka menuntut tegaknya demokrasi, penghapusan kekerasan, dan perlindungan terhadap perempuan.

Aliansi Perempuan Indonesia menyerukan pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret, termasuk menyetujui RUU PPRT dan kebijakan lainnya yang mendukung perlindungan terhadap perempuan. Mereka menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan hak-hak yang telah dirampas.

 

 

 

Penulis : Dea Pitriyani

Editor : Rahma Alawiyah