Ageisme: Diskriminasi Berbasis Usia

Ageisme: Diskriminasi Berbasis Usia

Sumber gambar : Tasithoughts.com

LPM Progress - Pernah mendengar istilah "ageisme" ? Ageisme adalah diskriminasi atau prasangka buruk terhadap individu atau kelompok berdasarkan usianya. Ageisme sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Robert Neil Butler pada tahun 1969 dalam sebuah wawancaranya mengenai proyek perumahan bagi lansia di Chevy Case, Maryland, Amerika Serikat.

Proyek perumahan tersebut bertujuan untuk menempatkan lansia pada suatu tempat khusus dan menjauhkannya dari ruang publik. Dalam hal ini, Butler menegaskan terciptanya proyek ini berdasarkan prasangka yang salah tentang lansia. Lansia diibaratkan sebagai sesuatu yang merepotkan, maka dari itu pihak pengembang tidak ingin adanya lansia yang mengganggu aktivitas di ruang publik.

Mungkin, telinga kebanyakan orang lebih sering mendengar tentang istilah seksisme atau rasisme. Hal ini yang menyebabkan ageisme tidak begitu "dilawan" oleh masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat membuat ageisme tumbuh subur.

Dalam kehidupan sehari-hari, lansia selalu dinilai tidak bisa memberikan kontribusi apapun. Lansia selalu diibaratkan sebagai sosok yang lemah, kesepian dan dependen. Produktivitas seseorang juga dinilai sudah berakhir ketika memasuki usia senja. Ini sesuai dengan kalimat yang pernah dikatakan oleh filsuf Seneca, "Kita memandang usia tua sebagai penyakit," tuturnya.

Dikutip dari laman Healthjournalism.org, Todd Nelson seorang profesor psikologi dari California State University pernah mengungkapkan, "Seluruh masyarakat membuat stereotipe bahwa orang yang sudah tua itu tidak berguna, tidak diinginkan dan menjadi beban. Ini memberitahu anak muda bahwa menjadi tua itu buruk," tuturnya. Hal ini berdasarkan tentang penelitiannya yang menganggap bahwa persepsi negatif karena usia akan berdampak pada orang dewasa dalam beberapa tingkatan.

Tidak hanya terjadi pada lansia, ageisme juga bisa terjadi pada remaja atau biasa disebut "Generasi Millenial". Misalnya, generasi millenial selalu dianggap manja atau bergantung kepada orang tua. Kemudian dianggap sebagai generasi yang malas membaca buku karena pengaruh dari perkembangan teknologi, serta selalu dinilai gegabah dalam mengambil setiap keputusan. Ini membuktikan bahwa ageisme bisa terjadi bagi semua kalangan, meskipun lebih cenderung terjadi kepada lansia.

Efek berbahaya yang dihasilkan dari praktik ageisme adalah kesehatan bagi orang tua. Dikutip dari laman Who.int, penelitian yang dilakukan oleh Levy et al menunjukkan bahwa, orang dewasa yang lebih tua dengan sikap negatif tentang penuaan dapat hidup 7,5 tahun lebih sedikit daripada mereka yang memiliki sikap positif.

Dampak negatif yang dapat dirasakan untuk kaum remaja ialah kehilangan rasa percaya diri, dengan kalimat umpatan seperti "Kamu bisa apa? Kamu masih muda, minim pengalaman. Tidak usah sok tahu". Hal-hal seperti ini yang menyebabkan kebanyakan remaja mengalami stagnasi, karena tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk maju.

Langkah Memerangi Ageisme

Undang-undang anti-ageisme dalam lingkungan kerja sudah diberlakukan di berbagai negara, misalnya seperti Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Undang-undang tersebut berisi tentang perusahaan tidak bisa memecat karyawannya atas dasar faktor usianya. Kemudian menghapus batas usia sebagai syarat penerimaan karyawan. Undang-undang ini bisa mendapatkan izin untuk dilanggar jika perusahaan mempunyai argumen yang kuat. Tentunya, ini menjadi salah satu langkah bagus dalam memerangi ageisme, meskipun undang-undang ini hanya berlaku dalam lingkungan kerja.

Tidak hanya melalui legislasi, memerangi ageisme juga bisa dilakukan dengan cara melakukan kampanye. Seperti membuat pandangan yang seimbang tentang penuaan atau menyosialisasikan dampak-dampak buruk yang dihasilkan ageisme.

Hingga saat tulisan ini rampung, ageisme masih belum dianggap sebagai masalah yang serius bagi kebanyakan orang. Padahal, ageisme bisa berdampak buruk pada ekonomi, sosial dan psikologis seseorang. Tanpa kita sadari, pikiran kita terpengaruh oleh konstruksi sosial yang salah dan yang perlu diubah ialah pola pikir kita. Jangan lagi menilai orang berdasarkan usianya. Potensi seseorang tidak bisa dinilai berdasarkan usianya. Yang muda tidak selalu bisa dinilai sebagai sosok pemalas atau tukang rebahan dan lansia pun tidak selalu bisa dinilai sebagai sosok yang kolot dan membosankan.

 

Penulis : Muhamad Fasha

Editor : Refa Tri Ustati